Monday, June 16, 2008

Tantangan Untuk Para Peneliti Bidang Energi

Jakarta, Tambangnews.com.- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi pengarahan kepada para pakar energi, dan kemudian memberikan tantangan bagi para peneliti dan perekayasa energi untuk menyampaikan inovasi-inovasi di bidang energi kepada pemerintah.

Kepada wartawan, Menristek Kusmayanto Kadiman usai mengikuti pertemuan dengan Presiden SBY, Senin (2/6) siang mengatakan, “Presiden menjelaskan mulai dari bagaimana konstelasi energi dunia ditengok bukan hanya dari sudut pandang tekno ekonomi sampai sosio politik, bahkan sampai kepada moral. Misalnya beberapa gelintir negara saja yang berlimpah ruah akibat meroketnya harga minyak itu, tidakkah mereka merasa terpanggil atau punya moral untuk membantu negara-negara yang kurang beruntung akibat kenaikan harga minyak. Itu yang dimaksud dengan bukan hanya tekno ekonomi sosio politik, presiden juga melihat etika dan moral dari energi,” kata Kusmayanto.

Presiden kata Kusmayanto, juga mengupas pendekatan yang diperkenalkan oleh Profesor Hubbert Peak, yang kemudian dikenal dengan nama Peak Oil. “Teorinya, sesudah kita mencapai titik puncak maka tidak ada pilihan lain selain produksi kita menurun, itu terkenal dengan Peak Oil. Menggunakan pendekatan Peak Oil, Indonesia ini tanpa upaya-upaya yang signifikan, baik mencari sumber-sumber baru maupun penghematan, maka diperkirakan tak lebih dari 20 tahun lagi minyak kita akan habis, itu menurut teori Peak Oil.

Presiden, menurut Menristek, menyampaikan kepada para akademisi tantangannya yang bisa kita perbuat. “Presiden memberikan juga pemikiran-pemikiran dalam tataran visi, bagaimana mencari subtitusi ketergantungan Indonesia, bahkan Presiden menggunakan istilah yang lebih keras lagi bukan hanya sekedar ketergantungan, beliau mengatakan adiksi,bagaimana mengajak Indonesia keluar dari adiksi minyak gas dan batubara. Menggunakan pendekatan Peak Oil, minyak kita kira-kira 20 tahun, gas 50 tahun, batu bara tak lebih dari 150 tahun,” kata Kusmayanto.

"Presiden juga mengajak bagaimana titik puncak teori Peak Oil ini kita geser ke kanan, melalui mencari sumber-sumber barudan melakukan penghematan besar-besaran. Dengan demikian kita bisa geser sehingga angka 20 tahun, 50 tahun, 150 tahun bisa lebih lama lagi.

"Atas nama rakyat Indonesia, Presiden meminta the best the brightest man and woman in Indonesia di bidang energi yaitu para peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah, apa yang bisa dilakukan. Teknologi inovasi apa yang bisa kita lakukan untuk menggeser puncak-puncak, Peak Oil, Peak Gas dan Peak Coal ke arah kanan.Artinya lebih dari 20 tahun, lebih dari 50 tahun, lebih dari 150 tahun, sambil mencari potensi-potensi yang lain, misalnya panas bumi. Bagaimana menjadikan panas bumi kompetitif, bagaimana menjadikan potensi sungai menjadi kompetitif, bagaimana sinar matahari, laut. Itu Presiden berikan arahan dan tantangan sekaligus,” kata Kusmayanto.

Djoko Santoso, Rektor ITB, bersama Tatang Hernas, Ketua Forum Biodiesel Indonesia, dan Hudi Hastowo, Kepala BATAN, yang mendampingi Menristek pada saat konferensi pers, diberi tantangan oleh Presiden SBY untuk mewakili sekitar 60 akademia untuk datang kembali dalam waktu dua pekan menemui Presiden SBY, dan memaparkan hasil inovasi mereka dan tim.

“Pak Djoko nanti akan memimpin tim dari energi fosil yang kita masih punya, apa saja yang masih berpeluang. Pak Hudi dengan Ilmu Fisika Nuklirnya itu, bagaimana nuklir itu bukan hanya untuk PLTN, bagaimana menghasilkan hidrogen dari H20 misalnya. Pak Tatang Hernas dengan bio massa, di Indonesia ini bio massa dalam bentuk padat ranting kayu dan lain-lain dalam bentuk cair, misalnya minyak sawit minyak jarak, tebu, singkong, bagaimana bisa kita hasilkan pangan dan energi. Dengan satu pesan tidak boleh konflik antara kebutuhan pangan dengan kebutuhan energi,” kata Menristek.

”Dua minggu lagi kami datang. Saya menjadi koordinator, termasuk melihat kebijakan energi nasional yang telah dibuat, targetnya sudah bagus. Para akademisi, peneliti dan perekayasa memberikan rekomendasi, pandangan, masukan kepada Presiden, bagaimana mencapai sasaran tersebut, lewat jalur mana dan bagaimana caranya. Karena Presiden sudah menetapkan target-targetnya kemudian bagaimana caranya itu,” kata Menristek. (SBY/nnf)

Presiden Bertemu Para Pakar Energi

sumber: tambangnews.com

Jakarta, Tambangnews.com. (Selasa, 03 Juni 2008 07:31:25) - Presiden SusiloBambang Yudhoyono hari Senin (2/6) siang menerima Komunitas Pakar dan Inovator Bidang Energi Baru dan Terbarukan, di Lantai 3, Gedung Sekretariat Negara.

Kepada para pakar energi yang hadir, Presiden untuk bersama-sama menyelamatkan kehidupan di negeri ini sebagai bagian dari kehidupan umat manusia sedunia, khususnya yang berkaitan dengan bidang energi. "Sebagai seorang yang sedang mengemban amanah sekarang ini memimpin negara dan pemerintahan yang menghadapi masa-masa yang tidak mudah, sulit. Saya ingin mengajak saudara semua membulatkan tekad,menyatukan langkah untuk melakukan apa saja yang terbaik bagi bangsa dan negara kita," kata Presiden.

"Mudah-mudahan sekarang ini merupakan turning point bagi kita semua setelah kita bersama-sama dihadapkan pada persoalan pelik dewasa ini pada tingkat global dan juga pada tingkat nasional. Anggaplah apa yang saya sampaikan ini sebagai wake up call bagi kita semua dan hajat saya mengundang saudara-saudara,"kata Presiden.

Presiden didampingi oleh Menko Polhukam Widodo A.S, Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Menperin Fahmi Idris, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, Menkominfo M.Nuh, Menristek Kusmayanto Kadiman, Meneg BUMN Sofyan Djalil, Panglima TNI Jendral Djoko Santoso, Dirut Pertamina Ari Sumarno, Dirut PLN, Dirut PGN, Dirut PLN Dirut PT LEN Industri.

Hadir pula pada pertemuan itu Prof Dr Andrianto Handoyo (Dewan Riset Nasional, Pakar Optical Solar Energi), Dr Hudi Astowo (BATAN), Neny Saptaji (Teknik Geotermal ITB), Dr Sukirno (Energi Surya/ Teknik Kimia), Unggul Prayitno ( BPPT), Prof Dr Tumiran dan Dr Kusnanto (UGM Yogyakarta), Prof Dr Gumilang (Rektor UI), Prof Dr Sudjarwadi (Rektor UGM), Dr Hery Suhardiyanto (Rektor IPB), Prof Djoko Santosa Rektor (ITB), Prof Ir Priyo Suprobo ( Rektor ITS Surabaya), Ir Helmi Panigoro (Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia), Prof Dr Wahono Sumaryono (Tim Nasional Bahan Bakar Nabati), Irwansyah Idrus (Ketua RW 08, Petojo Utara, Kec Gambir, Bio Gas), BF Prawoto MSc, Ir Iswahyudi dan Heru Lelono dari Center For Food Energy And Water Studies, Blue Energy. (SBy/nnf)

PLTN (Risk Based Thinking)

Risk Based Thinking : "PLTN"

sumber: http://www.migas-indonesia.com/

Nanang Jamil nanangjamil@gmail.com


Melengkapi ajakan saya untuk Berpikir Berbasis Resiko dalam diskusi tentang PLTN, dibawah ini saya sampaikan salah satu tulisan pendiri Greenpeace yang bisa menuntun pola berpikir dan pola bereaksi kita terhadap diskusi seputar PLTN.

PEMIKIRAN-ULANG TENTANG NUKLIR (PENDIRI GREEN PEACE PUN PRO NUKLIR)

"Pandangan saya telah berubah, karena energi nuklir adalah satu-satunya sumber listrik yang tidak memancarkan gas rumah-kaca, yang dapat secara efektif mengganti bahan-bakar fosil, guna memenuhi permintaan energi yang semakin bertambah" (Patrick Moore)

Di awal tahun 1970-an sewaktu saya membantu mendirikan Greenpeace, saya percaya bahwa energi nuklir itu sinonim dengan bencana nuklir, sama seperti pendapat rekan-rekan seperjuangan saya. Keyakinan itu telah mengilhami perjalanan Greenpeace yang pertama ke pantai karang Barat-Laut untuk memrotes percobaan bom hidrogen di Kepulauan Aleutian di Alaska.

Tiga puluh tahun berlalu, pandangan saya telah berubah, dan seluruh gerakan pro-lingkungan kiranya perlu memutakhirkan pendapatnya juga, karena energi nuklir adalah satu-satunya sumber listrik yang tidak memancarkan gas rumah-kaca, yang dapat secara efektif mengganti bahan-bakar fosil guna memenuhi permintaan energi yang semakin bertambah.

Marilah kita kaji pemancar gas rumah-kaca yang terbesar di dunia: batubara. Biarpun batubara memberikan listrik murah, tetapi pembakaran batubara di seluruh dunia menciptakan sekitar 9 milyar ton CO2 per tahun, yang sebagian besar akibat dari pembangkitan listrik. Pembangkitan listrik yang membakar batubara menyebabkan hujan asam, kabut-asap (smog), penyakit pernafasan, kontaminasi merkuri, dan memberi kontribusi utama pada gas rumah-kaca dunia.

Di lain pihak, sebanyak 441 PLTN yang kini beroperasi di seluruh dunia telah menghindari emisi hampir 3 milyar ton CO2 per tahun ─ yang setara dengan gas-buang berasal lebih dari 428 juta mobil.

Untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap batubara, kita harus bekerja bersama mengembangkan infrastruktur energi nuklir secara global. Energi nuklir itu bersih, sepadan dalam hal ongkos (cost effective), dapat diandalkan dan aman.

Di tahun 1979 Jane Fonda dan Jack Lemmon keduanya telah memenangkan piala Oscar untuk perannya dalam "The China Syndrome". Di dalam film, sebuah reaktor nuklir mengalami pelelehan yang mengancam kehidupan seluruh kota.

Duapuluh hari setelah film dahsyat itu diputar-perdanakan, sebuah pelelehan reaktor di Three Mile Island benar-benar telah menggetarkan seluruh negara.

Pada waktu itu tidak seorangpun memerhatikan bahwa Three Mile Island itu sebenarnya adalah sebuah kisah sukses. Struktur beton yang membentuk sungkup reaktor (kontenmen, containment) telah menunaikan tugasnya dengan baik: bangunan sungkup telah menghalangi keluarnya radiasi ke lingkungan. Biarpun reaktor menjadi tidak berfungsi, tetapi tidak ada korban luka atau meninggal di antara publik maupun pekerja nuklir.

Di Amerika Serikat hari ini terdapat 103 reaktor nuklir yang diam-diam menyajikan 20% kebutuhan listriknya. Sekitar 80% penduduk di sekitar PLTN sampai jarak 10 Km itu menyetujui kehadiran PLTN-mereka. Tingkat persetujuan yang tinggi itu tentulah tidak termasuk pekerja PLTN yang memiliki kepentingan dalam mendukung pekerjaan mereka yang aman, dan bergaji tinggi. Biarpun saya tidak hidup dekat dengan PLTN, tetapi sekarang saya praktis berada di pihaknya.

Saya bukanlah sendirian di antara aktivis dan pemikir lingkungan kawakan yang telah dan tengah berubah pikiran dalam subyek ini. James Lovelock, bapak dalam teori Gaia dan ilmuwan atmosfir terkemuka, percaya bahwa energi nuklir adalah satu-satunya energi yang menghindari perubahan iklim yang mendatangkan bencana. Steward Brand, pendiri dari The Whole Earth Catalogue dan pemikir ekologi holistik, mengatakan bahwa gerakan lingkungan haruslah merangkum energi nuklir untuk mengurangi ketergantungannya terhadap bahanbakar fosil. Almarhum Bishop Hugh Montefiore, pendiri dan direktur Friends of the Earth Inggris, dipaksa mengundurkan diri sewaktu dia menyajikan sebuah artikel pro-nuklir dalam sebuah lembaran-berita gereja. Pendapat seperti itu telah ditanggapi sebagai semacam inquisition (hukuman karena menyalahi paham ajaran gereja) dari kelompok kepadrian yang anti-nuklir.

Namun terdapat tanda-tanda bahwa sikap itu sedang berubah, bahkan sikap di antara para pelaksana kampanye yang paling getol. Saya menghadiri Pertemuan Iklim Kyoto di Montreal pada bulan Desember 2005, di situ saya berbicara di depan hadirin yang memenuhi ruangan tentang pertanyaan masa depan energi yang berkelanjutan. Saya memberi argumen bahwa satu-satunya jalan untuk mengurangi emisi bahan-bakar fosil dari pembangkitan listrik adalah melalui program yang agresif dalam penggunaan energi terbarukan (listrik hidro, geotermal, pompa-panas dan angin) plus nuklir. Juru bicara Greenpeace adalah orang pertama yang mengambil mikrofon pada saat acara tanya-jawab dan saya mengira akan mendengar kata-kata keras darinya. Tetapi sebaliknya, ia mulai dengan mengatakan bahwa ia menyetujui banyak hal yang saya sampaikan, kecuali tentu saja, potongan "plus nuklir" itu. Biarpun demikian, saya telah dapat merasakan bahwa pijakan bersama sangatlah mungkin dicapai.

Energi angin dan matahari mempunyai tempat di sini, tetapi karena tidak selalu kontinu dan tidak dapat diprediksi, maka kedua jenis energi itu tentu tidak dapat mengganti pembangkit listrik beban-basis yang besar seperti pembangkit listrik batubara, nuklir dan listrik-hidro. Gas-alam, bahanbakar fosil itu, kini sudah terlalu mahal, dan harganya begitu mudah berubah sehingga sangat berisiko untuk digunakan sebagai pembangkit beban-basis yang besar. Kalau sumber listrik-hidro biasanya dibangun untuk kapasitas besar, maka nuklir, sebagai ganti eliminasi batubara, menjadi satu-satunya substitusi yang dapat diperoleh dalam skala besar, sepadan dalam ongkos (cost effective) dan aman. Begitu sederhana!

Memang, bukan tidak ada tantangan nyata ─ juga bukan tidak ada berbagai mitos ─ yang berkaitan dengan energi nuklir. Masing-masing mitos itu perlu dipertimbangkan:

Mitos 1: Energi nuklir itu mahal

Fakta: Energi nuklir adalah satu di antara sumber energi yang tidak-mahal. Di tahun 2004, rata-rata ongkos produksi listrik di Amerika Serikat adalah kurang dari dua sen per kilowatt-jam, setingkat dengan ongkos batubara dan listrik-hidro. Kemajuan dalam teknologi akan menurunkan lagi ongkos itu di masa mendatang.

Mitos 2: PLTN itu tidak aman

Fakta: Kalau dapat dikatakan bahwa kecelakaan Three Mile Island itu suatu kisah sukses, maka kecelakaan di Chernobyl itu tidak dapat dikatakan demikian. Kecelakaan Chernobyl itu sepertinya menunggu akan terjadi. Model awal dari reaktor Uni Soviet tidak menggunakan bejana kontenmen (sungkup, containment vessel), dalam hal desain dikatakan sebagai tidak-aman melekat, sedang operatornya kemudian meledakkannya.

Forum multi-lembaga PBB untuk Chernobyl tahun lalu melaporkan bahwa hanya 56 kematian dapat dikaitkan dengan kecelakaan itu, sebagian besar korban adalah akibat radiasi atau luka-bakar sewaktu memadamkan api. Memang tragis sekali korban kematian itu, namun angka itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kecelakaan di tambang batubara sebanyak 5000 jiwa seluruh dunia setiap tahun. Atau jika dibandingkan dengan 1,2 juta jiwa yang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan mobil. Tidak seorangpun meninggal dalam sejarah program nuklir untuk sipil di Amerika Serikat. (Disayangkan, bahwa ratusan pekerja tambang uranium meninggal pada tahun-tahun awal industri ini. Hal itu telah sejak lama diperbaiki).

Mitos 3: Sampah nuklir itu akan berbahaya selama ribuan tahun

Fakta: Dalam 40 tahun, bahanbakar yang telah digunakan hanya akan memancarkan seperseribu radioaktivitas dibandingkan pada waktu bahanbakar itu dikeluarkan dari reaktor. Dan sebenarnya sangatlah tidak benar jika dikatakan itu sebagai sampah (atau limbah), karena 95% potensi energinya masih tersimpan di dalam bahanbakar bekas pada siklus pertama.

Sekarang Amerika Serikat telah mencabut larangan daur-ulang bahanbakar bekas, dengan demikian akan dimungkinkan pemanfaatan energi itu serta akan banyak mengurangi jumlah sampah yang harus diolah atau disimpan. Bulan lalu, Jepang telah bergabung dengan Perancis, Inggris dan Rusia dalam kegiatan daur-ulang bahanbakar nuklir ini.

Mitos 4: Reaktor nuklir itu rawan terhadap serangan teroris

Fakta: Beton bertulang yang tebalnya satu-setengah meter melindungi isi bangunan kontenmen dari luar maupun dari dalam. Bahkan kalau sebuah jumbo jet menabrak reaktor dan merusak kontenmen, reaktor tidak akan meledak. Ada banyak jenis fasilitas yang lebih rawan termasuk pabrik pencairan gas alam, pabrik kimia dan sejumlah sasaran politik.

Mitos 5: Bahan-bakar nuklir itu dapat dialihkan untuk membuat senjata nuklir

Fakta: Senjata nuklir sudah tidak lagi harus tak-terpisahkan dengan PLTN. Teknologi centrifuge (teknologi pengkayaan uranium-235) kini memungkinkan suatu negara memperkaya uranium tanpa harus membangun reaktor nuklir. Iran misalnya, tidak memiliki reaktor yang menghasilkan listrik, padahal negara ini telah memiliki kemampuan membuat bom nuklir. Ancaman senjata nuklir Iran sama sekali dapat dibedakan dari pembangkit energi nuklir untuk maksud damai.

Selama dua puluh tahun, satu di antara alat yang paling sederhana ─ parang ─ telah dipakai membunuh jutaan manusia di Afrika, jauh lebih banyak dari pada korban yang meninggal di Hiroshima dan Nagasaki digabungkan. Tetapi toh tidak seorangpun yang mengusulkan melarang parang, karena parang adalah alat yang sangat berharga di negara berkembang.

Satu-satunya pendekatan pada isu penyebaran senjata nuklir adalah menempatkan isu itu pada agenda internasional yang lebih tinggi dan menggunakan diplomasi dan bila perlu kekuatan, untuk menghalangi pemerintahan atau teroris dari pemakaian bahan nuklir untuk tujuan perusakan.

Teknologi baru, seperti misalnya sistem proses-ulang yang akhir-akhir ini diperkenalkan di Jepang (yang tanpa proses pemisahan plutonium dari uranium) akan membuat manufaktur senjata dengan menggunakan bahan nuklir keperluan sipil, menjadi lebih sulit.

Lebih bersih dan lebih hijau

Sebagai bonus (tambahan) dalam mengurangi emisi gas rumah-kaca serta bergeser dari mengandalkan bahanbakar fosil, energi nuklir menawarkan dua manfaat yang ramah-lingkungan sekaligus.

Pertama, listrik nuklir menawarkan jalan yang penting dan praktis ke arah ′ekonomi hidrogen′. Hidrogen sebagai sumber yang menghasilkan listrik menawarkan janji untuk energi yang bersih dan hijau. Berbagai perusahaan mobil melanjutkan pengembangan sel bahanbakar hidrogen dan teknologi ini, dalam waktu yang tidak terlalu jauh di masa depan, akan menjadi produsen sumber energi. Dengan menggunakan kelebihan energi panas dari reaktor nuklir untuk menghasilkan hidrogen, maka dapat diciptakan produksi hidrogen dengan harga terjangkau, efisien, serta bebas dari emisi gas rumah-kaca. Dengan demikian produksi hidrogen ini dapat dikembangkan untuk menciptakan ekonomi energi hijau di masa depan.

Kedua, di seluruh dunia, energi nuklir dapat menjadi solusi terhadap krisis lain yang tengah berkembang: kekurangan air bersih yang harus tersedia bagi konsumsi manusia dan irigasi bagi tanaman dasar (crop). Secara global, proses desalinasi (air-laut) telah dan tengah dipakai guna membuat air bersih. Dengan menggunakan kelebihan panas dari reaktor nuklir, air laut dapat ditawarkan, sehingga permintaan terhadap air bersih yang selalu bertambah akan dapat dipenuhi.

Kombinasi energi nuklir, energi angin, geotermal dan hidro adalah cara yang aman dan ramah-lingkungan dalam memenuhi permintaan energi yang selalu bertambah. Dengan berbagi informasi, jaringan konsumen, pakar lingkungan, akademisi, organisai buruh, kelompok bisnis, pemimpin masyarakat dan pemerintah kini telah disadari manfaat dari energi nuklir.

Energi nuklir adalah jalan terbaik untuk menghasilkan listrik beban-dasar yang aman, bersih, dapat diandalkan, serta akan memainkan peranan kunci dalam pencapaian keamanan (penyediaan) energi global. Dengan perubahan iklim sebagai puncak agenda internasional, kita semua harus mengerjakan bagian kita untuk mendorong renaisans (kebangkitan kembali) energi nuklir.

Patrick Moore adalah seorang pakar ekologi dan lingkungan. Ia memulai kariernya sebagai seorang aktivis dan pendiri Greenpeace, di mana ia menempati jabatan puncak selama 15 tahun. Dr. Moore dahulu mendirikan perusahaan asalnya Greenspirit Enterprises dan sekarang adalah Ketua dan Pakar Utama dari Greenspirit Strategies Ltd, yang berbasis di Vancouver dan Winter Harbour, Canada. (www.greenspiritstrategies.com) E-mail: pmoore@greenspirit.com

Diterjemahkan dari naskah asli:

Moore, Patrick - "Nuclear Re-Think", IAEA Bulletin, Volume 48/1.

September 2006. www.iaea.org