Monday, December 21, 2009

Swedia Kembali ke Energi Nuklir

Oleh Mukhlis Akhadi (sumber: Wb)

Menolak nuklir boleh-boleh saja, itu bagian dari demokrasi. Tapi alangkah baiknya kalau mereka yang menolak nuklir itu juga memberi alternatif sumber energi lain yang kompetitif untuk dimanfaatkan di Indonesia. Kalau saya baca siaran pers nya, di bagian akhir hanya memberi dukungan terhadap pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan dengan efisiensi tinggi, tanpa menyebut sumber energinya apa. Artinya para penolak nuklir itu sejatinya tidak memiliki konsep yang jelas tentang energi yang harus dikembangkan di Indonesia. Adakah jenis sumber energi baru dan terbarukan yang lebih spesifik yang harus dikembangkan di Indonesia yang nantinya dapat mengisi kekurangan suplai energi ?

Memberi dukungan terhadap litbang sumber energi baru dan terbarukan OK saja. Masalahnya, tentang litbang energi, para penolak nuklir juga tidak tahu persis sampai kapan litbang itu dapat menghasilkan temuan sumber energi baru yang benar-benar kompetitif untuk Indonesia. Litbang bisa berhasil, tapi juga bisa gagal alias tidak menemukan sumber energi baru apapun yang kompetitif untuk dikembangkan. Belum lagi masalah waktu untuk litbang itu sendiri, dan seandainya berhasil sekalipun, belum tentu temuan baru itu langsung dapat diaplikasikan, belum lagi dilihat dari aspek kompetitifnya.

Masalahnya, para penolak nuklir sepertinya tidak menyadari masalah energi yang saat ini dihadapi Indonesia dan dunia. Cadangan minyak bumi yang semakin menipis dan harganya terus melambung, batubara yang tidak ramah lingkungan dan mengancam penduduk bumi karena memicu pemanasan clobal, permintaan energi yang terus meningkat dari waktu ke waktu karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan laju industrialisasi di berbagai belahan dunia yang ikut meningkat, semuanya perlu keputusan cepat untuk memutuskan sumber energi apa yang harus dipakai untuk mengisi kesenjangan antara suplai dan permintaan terhadap energi tersebut.

Litbang pengembangan sumber energi baru -siapapun tahu- memang diperlukan. Namun apakan kita hanya mengandalkan pada litbang tersebut untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi seperti yang sedang dialami Indonesia saat ini. Tarohlah litbang perlu waktu 20 tahun untuk betul-betul menghasilkan sumber energi baru dan terbarukan yang betul-betul kompetitif (dan inipun tidak ada jaminan untuk berhasil), lantas apa yang akan dipakai untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi dalam kurun waktu tersebut ? Adakah jawaban yang realistis dari para penolak nuklir ?

Dalam kondisi krisis listrik seperti yang dialami Indonesia saat ini, terjadi pemadaman bergilir setiap saat, aktivitas industri terganggu karena kontinyuitas suplai listrik tidak dapat diandalkan, dengan dampak kerugian yang besar di fihak industri, belum lagi terhambatnya investasi karena infrastruktur energi yang tidak memadai, yang berakibat pada terhambatnya pembukaan lapangan kerja baru, sementara pengangguran di tanah air terus meningkat, semuanya itu sepertinya tidak pernah ada dalam fikiran para penolak nuklir. Artinya mereka hanya sekedar menolak penggunaan energi nuklir, tapi tidak memiliki solusi yang membumi yang bisa diwujudkan dalam waktu dekat untuk mengatasi semua permasalahan kelistrikan yang sedang dihadapi bangsa saat ini.

Jeleknya lagi, data-data pendukung yang digunakan untuk menolak nuklir adalah data-data usang, sangat bertentangan dengan data-data terbaru. Betul AS dan Eropa Barat pernah menunda program nuklir setelah infrastruktur energi di negara-negara itu cukup mantab, karena memang didukung oleh penggunaan energi nuklir yang cukup besar. Namun apa yang terjadi saat ini, disaat krisis energi membayang-bayangi penduduk bumi ? AS dan Eropa Barat kembali melirik nuklir. Bagi mereka, memutuskan kembali ke nuklir memang cukup mudah karena sebelumnya sudah cukup lama berpengalaman dalam penggunaan energi nuklir. Di saat nagara-negara maju memutuskan kembali ke nuklir, apa yang bisa dilakukan Indonesia ?

Mengenai hal tersebut, kita bisa melihat kasus yang terjadi di Swedia. Melalui referendum, rakyat Swedia pernah sepakat memutuskan untuk menutup semua PLTN yang beroperasi di negeri itu pada tahun 2010 karena adanya kecelakaan PLTN Three Mile Island, AS, tahun 1979. Referendum berikutnya malah menghendaki mempercepat penutupan semua PLTN di Swedia yang dimajukan ke tahun 2000 karena adanya kecelakaan PLTN Chernobyl tahun 1986. Satu prestasi pernah di catat oleh rakyat Swedia, yaitu menyetop penggunaan PLTA (PLTA, bukan PLTN) sejak tahun 1960 karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya ternyata demikian besar.

Namun apa yang terjadi saat ini di Swedia ? Setelah gagal mendapatkan sumber-sumber energi baru yang dapat menggantikan peran energi nuklir, sementara deadline penutupan PLTN semakin dekat, terpaksa pemerintah Swedia melakukan referendum ulang. Apa hasilnya ? Cukup mengejutkan, yaitu memperpanjang penggunaan energi nuklir sampai ditemukan sumber-sumber energi pengganti yang lebih aman. Namun ternyata tidak memberi batas waktu untuk penggunaan energi nuklir di negeri itu. Belum lama ini misalnya, PLTN Barsebach di Swedia ternyata malah diperpanjang penggunaannya. Artinya, sebagaimana sebelumnya saya sebutkan, rakyat Swedia berhasil melepaskan diri dari PLTA, tetapi ternyata gagal untuk membebaskan diri dari penggunaan energi nuklir.

Apakah para penolak nuklir di Indonesia belajar dari kasus ini ? Kasus serupa pun sebenarnya terjadi di negara-negara industri lainnya. Jerman yang sebelumnya dibangga-banggakan oleh para penolak nuklir karena keputusannya yang sangat berani untuk membebaskan diri dari energi nuklir, berita terkini menyebutkan, ternyata negara itu berbalik haluan untuk tetap mempertimbangkan nuklir sebagai pemasok listrik di masa mendatang. AS, Inggris, Italia sama saja. Sekali lagi, bagi negara-negara yang sebelumnya sudah memanfaatkan energi nuklir, keputusan untuk kembali ke nuklir memang cukup mudah karena pengalaman sudah ada. Namun apa yang bisa diperbuat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energinya di masa mendatang ? Dapatkan para penolak nuklir memberikan solusi yang realistis tanpa nuklir ?