Thursday, March 18, 2010

BISNIS INDONESIA: Survei lokasi PLTN sangat mahal

BISNIS INDONESIA: Survei lokasi PLTN sangat mahal

Kamis, 18/03/2010 18:37:52 WIB Oleh: Rahmayulis Saleh

JAKARTA (Bisnis.com): Pengembangan pembangkit tenaga nuklir (nuclear power plant/NPP), komponen terbesarnya adalah biaya untuk menentukan survei lokasi yang cocok untuk mendirikan reaktor nuklirnya, misalnya untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

“Biaya untuk survai prapembangunan NPP ini bisa mencapai 100 kali lipat dari biaya pembangunan NPP itu sendiri,” kata Konno Takaaki, Direktur Japan Nuclear Technlogy Institute, di sela-sela Seminar Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia di kantor BPPT, Jakarta, hari ini.

Dia menyebutkan biaya besar terletak pada penentuan mencari lokasi yang pas untuk pendirian NPP tersebut. Hal itu meliputi kelayakan lokasi dan pemasangan perangkat sinyal gempa, sehingga dapat mengantisipasi besarnya goyangan gempa (percepatan gempa).

Komponen biaya lainnya, kata Konno yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar itu, adalah penyusunan regulasi yang sangat ketat mengenai pemilihan lokasi, keikut sertaan tender, dan juga penerimaan masyarakat atas pembangunan NPP.

Menurut dia, proses pra pembangunan membutuhkan waktu 2 tahun, sementara pembangunan NPP mencapai 3-4 tahun. “Investasi NPP berkapasitas 1.000MW-1.400 MW membutuhkan anggaran sekitar 300 miliar yen,” ungkapnya.

Dia menyebutkan sampai sekarang Jepang telah mengembangkan 57 NPP dengan teknologi yang mampu mendeteksi kegagalan, atau kelalaian manusia (failed-safe) sebuah reaktor, dan dilengkapi dengan software human ativity. Perangkat lunak tersebut berisi informasi mengenai budaya keselamatan, peringatan dini kecelakaan, prosedur evakuasi dan juga informasi kecelakaan nuklir di masa lalu.

Sementara itu Hudi Hastowo, Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), menuturkan Indonesia pernah merencanakan pembangunan NPP pada 2016. “Namun sampai sekarang masih menunggu political will dari pemerintah untuk mewujudkannya. Butuh waktu sekitar 8 tahun dari komitmen awal sampai realisasi pembangunan NPP," ujarnya.

Dia menghitung waktu delapan tahun tersebut, adalah 2 tahun untuk sosialisasi pra pembangunan NPP, dan 6 tahun lagi untuk pembangunan NPP. “Jadi kalau 2010 ini pemerintah sepakat untuk membangunnya, maka 2018 Indonesia akan mempunyai pembangkit listerik tenaga nuklir [PLTN] pertama,” ungkap Hudi.

Dia menambahkan Presiden sudah mengeluarkan Inpres No 1 tahun 2010, yang mengharuskan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Batan melakukan sosialisasi tentang PLTN kepada masyarakat.

Melalui Inpres tersebut, katanya, diharapkanh masyarakat bisa memahami dan menerima rencana pembangunan PLTN. “Namun, Inpres tersebut tidak diiringi dengan alokasi anggaran dalam Dipa Kemenristek yang rancangannya sudah terlanjur diajukan tahun lalu,” ujarnya. (ts)

sumber: http://web.bisnis.com/senggang/iptek/1id169039.html

ANTARA: Presiden Terbitkan Inpres Tentang Sosialisasi PLTN

ANTARA: Presiden Terbitkan Inpres Tentang Sosialisasi PLTN


Jakarta (ANTARA) - Presiden mengeluarkan Inpres No 1 tahun 2010 yang mengharuskan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan sosialisasi tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kepada masyarakat.

"Inpres ini mengharapkan masyarakat semakin bisa menerima rencana pembangunan PLTN," kata Kepala BATAN Dr Hudi Hastowo di sela Seminar "Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia", di Jakarta, Kamis.

Sayangnya, Inpres tersebut tidak dibarengi dengan alokasi anggaran dalam APBN KRT yang rancangannya sudah terlanjur diajukan tahun lalu.

Pihaknya, ujar dia, juga masih mengharapkan keluarnya peraturan lainnya yakni Perpres tentang organisasi yang akan mengelola PLTN. Dengan peraturan ini maka pembangunan PLTN sudah bisa dilakukan.

Rancangan Perpres ini sudah menunggu sekitar 2-3 tahun untuk ditandatangani Presiden.

Dengan dasar UU no 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), menurut Hudi, seluruh persiapan pembangunan PLTN sudah dilakukan, dari mulai riset tentang tapak PLTN, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusianya, kesiapan teknologinya, rancangan peraturan hingga pembiayaannya.

"Jepang sudah menawari bantuan pinjaman hingga dua miliar dolar AS," katanya.

Presiden RI masih mengkhawatirkan penerimaan masyarakat terhadap PLTN khususnya kemampuan SDM dan teknologi.

Hudi mengatakan, kebutuhan energi di Indonesia sangat tinggi, khususnya karena penggunaan energi di Indonesia saat ini masih sangat rendah yakni 500 kW per kapita, jauh dibandingkan negara tetangga misalnya Malaysia yang sebesar 3.000 kW per kapita.

"Tanpa energi tidak akan ada investasi, tak ada pertumbuhan ekonomi dan tak ada kemakmuran," katanya sambil menambahkan bahwa saat ini rakyat Indonesia masih merasa kaya akan minyak, gas dan batubara, tanpa peduli kemungkinan habisnya cadangan energi tersebut beberapa puluh tahun lagi.

Dalam UU RPJM, PLTN Semenanjung Muria seharusnya sudah ditenderkan pembangunannya sejak 2008 dan mulai dibangun pada 2010, sehingga sudah bisa beroperasi pada 2016 dengan kapasitas 2.000 MW.(D009/A024)