Showing posts with label PLTN. Show all posts
Showing posts with label PLTN. Show all posts

Thursday, June 17, 2010

Eisenhower, Soeharto, SBY, dan Nuklir

Suara Pembaruan 15/6/2009
 2010-06-15

Eisenhower, Soeharto, SBY, dan Nuklir
Oleh : Markus Wauran

Eisenhower, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) masing-masing adalah Jenderal dari kesatuan Infanteri Angkatan Darat. Ketiga Jenderal ini pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing. Eisenhower adalah Presiden AS ke-34, Soeharto, Presiden RI ke-2, dan SBY Presiden RI ke-6 yang sedang berkuasa saat ini. Masing-masing Presiden ada keunggulannya.

Dari pengalaman perang, Eisenhower lebih populer dan unggul dari Soeharto dan SBY. Puncak popularitas Eisenhower adalah sebagai Panglima Perang Pasukan Sekutu di Eropa yang memenangkan peperangan melawan pasukan Nazi dan koalisinya dimulai dari pantai Normandia sampai ke beberapa Negara Eropa Barat. Soeharto terkenal sebagai Panglima Perang Mandala membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda, melalui kemenangan diplomasi tanpa perang. SBY pernah bertugas sebagai Commander of United Nations Military Observers dan Komandan Kontingen Indonesia di Bosnia Herzegovina tahun 1995-1996. Juga pernah memimpin pasukan dalam perang lokal di Timor Timur.

Ada keunggulan SBY dibandingkan dengan Eisenhower dan Soeharto. SBY dikenal sebagai Jenderal intelektual yang diakui oleh berbagai pihak dalam dan luar negeri, serta penulis beberapa buku baik berbahasa Inggris maupun Indonesia. Dengan pesona yang memukau, SBY mampu berbicara soal politik, konstitusi, ekonomi, budaya, secara cerdas. Eisenhower menjadi Presiden untuk dua masa jabatan (8 tahun), namun Soeharto lebih unggul karena menjadi Presiden RI selama 32 tahun, yang selalu terpilih secara aklamasi oleh MPR. SBY adalah Presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat dan sedang menjalani masa jabatan ke dua (terakhir) sebagai Presiden yang saat ini sedang menjalani ujian berat dengan berbagai persoalan rumit.
Sebagai Jenderal perang, sesungguhnya Eisenhower benci perang sebagaimana pidatonya di Ottawa pada 10 Januari 1946. yang antara lain mengatakan: “saya benci perang sebagai seorang pejuang yang sudah mengalaminya, sebagai seseorang yang melihat kebrutalitasannya dan kebodohanannya….

Kemungkinan, sebagai ekspresi bahwa dia benci perang walaupun dalam setiap penugasan selalu memenangkan perang, dalam Pidatonya sebagai Presiden AS di depan Sidang Majelis Umum PBB tanggal 8 Desember 1953, Eisenhower mencanangkan “Atom Untuk Perdamaian”(Atom for Peace). Pidato ini menggemparkan dunia karena pada waktu bersamaan, AS, Uni Soviet, Inggris, Prancis sedang berlomba melakukan pengembangan dan uji coba senjata nuklir.

Akibat pidato tersebut, Eisenhower berjasa dalam 3 hal besar yang berdampak bagi AS sendiri maupun bagi dunia. Tiga hal tersebut, pertama, berhasilnya dibangun PLTN pertama di Shippingport, Pennsylvania yang pengoperasiannya diresmikan tanggal 2 Desember 1957 dihadiri Presiden Eisenhower. Kedua, ditetapkannya Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons yang disingkat NPT oleh PBB 12 Juni 1968 di New York dan mulai berlaku efektif 5 Maret 1970; Ketiga, dimanfaatkannya Reaktor Triga sebagai sumbangan AS pada berbagai negara (seperti Austria, Finlandia, Italia, Jepang, Bangladesh, Kongo, Brazil, Jerman, Filipina, , Meksiko, Indonesia, dll) untuk memanfaatkan nuklir bagi tujuan damai dan kesejahteraan. Triga adalah singkatan dari training, research, isotopes, General Atomics. Reaktor Triga artinya reaktor yang berfungsi untuk latihan, penelitian dan memproduksi isotop yang disain dan manufaktur-nya oleh General Atomics. Reaktor pertama Indonesia adalah reaktor Triga Mark II bantuan AS yang sampai saat ini masih beroperasi di-Bandung.

Di era Soeharto, dibangun 2 reaktor penelitian, Reaktor Kartini di Yogyakarta (1979) dan Reaktor Siwabessy di Serpong(1987) . Juga di-bangun berbagai fasilitas Iptek nuklir baik di kawasan nuklir Pasar Jumat Jakarta Selatan maupun di Serpong yang terkenal dengan Puspitek Serpong. Demikian pula dengan pembangunan sumber daya manusia yang menguasai Iptek Nuklir, kelembagaan dan perangkat hukum sangat signifikan sehingga di era ini sebenarnya Indonesia telah memenuhi syarat untuk mulai membangun PLTN.

Pada peresmian berbagai fasilitas Iptek Nuklir antara tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, ada 3 hal penting yang disampaikan Soeharto yang harus menjadi pegangan bangsa kita, yaitu : pertama, bahwa hasil penelitian menunjukkan sekitar 25 thn yad untuk memenuhi kebutuhan listrik di-Pulau Jawa, pengerahan semua sumber daya yang ada seperti air, panas bumi, gas alam dan batubara tidak akan mencukupi. Karena itu mulai sekarang kita perlu memikirkan untuk membangun Pusat Listrik Tenaga Nuklir; kedua, penggunaan teknologi nuklir maupun teknologi manapun memang ada resiko. Namun, dengan perencanaan yang cermat tidak perlu ragu untuk menerapkannya. Dalam kehidupan, acapkali kita harus berani menghadapi resiko karena resiko juga merupakan tantangan. Hanya bangsa yang mampu menghadapi tantangan yang akan mampu menjadi bangsa yang maju; ketiga, saya percaya bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi canggih. Nenek moyang kita telah membuktikannya dengan membangun candi yang sangat indah arsitekturnya dan armada laut yang mengarungi samudra luas. Penjajahlah yang membuat kita lemah dan kurang percaya diri. Karena itu, setelah menjadi bangsa merdeka kita harus dapat bangkit kembali untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju.

Persiapan pembangunan nuklir untuk tujuan damai yang telah dipersiapkan Soekarno sampai Soeharto baik SDM, perangkat hukum, kelembagaan dan berbagai fasilitas Iptek nuklir lainnya, kemudian ditindaklanjuti SBY dengan beberapa perangkat hukum antara lain Peraturan Presiden No 5 tahun 2006, dan Undang No 17 tahun 2007 serta dukungan politik DPR dan dukungan tehnis IAEA, maka tidak ada lagi alasan apapun untuk menunda pembangunan PLTN.

Saatnya Presiden SBY mengeluarkan Keppres untuk Indonesia siap go PLTN.
Namun, sampai saat ini Keppres tsb belum terbit. Ada komentar yang mengatakan bahwa SBY orangnya peragu, tidak berani mengambil resiko dan keputusan jika ada tantangan, karena itu tidak mungkin akan ada Keppres untuk Indonesia go PLTN. Sebagai Jenderal infantri seperti Eisenhower dan Soeharto, bagi penulis tidak mungkin SBY peragu apalagi penakut. Karena kalau peragu dan penakut tidak mungkin SBY jadi Jenderal infantri yang setiap saat siap mati untuk tanah air.

Jika SBY saat ini sedang mencari kiat terbaik dan teladan kepemimpinan para Jenderal yang mengilhami dalam mengambil keputusan untuk Indonesia Go PLTN, maka sikap Eisenhower yang berani mengambil keputusan dalam situasi yang kontradiktif demi kepentingan kemanusiaan secara nasional dan global serta sikap Soeharto yang berani mengambil keputusan juga dalam situasi yang kontradiktif demi masa depan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera, berani mengambil resiko dan menghadapi tantangan serta tidak takut pada bangsa lain yang sudah maju karena percaya diri dan sangat percaya pada SDM Indonesia, kiranya menjadi acuan dan pemicu bagi SBY untuk segera mengambil keputusan Indonesia Go PLTN. Kiranya TYME mengaruniakan kemampuan dan kearifan bagi SBY untuk mengambil keputusan yang berani, cermat dan cepat Indonesia Go PLTN seperti yang dibuat oleh Eisenhower dan Soeharto. Amin.

Penulis adalah Pengurus HIMNI dan IEN serta Anggota DPR/MPR periode 1987-1999

Mohon komentar tentang pendapat/opini Bpk. Markus Waran tersebut mengingat pendapat & pernyataan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, MENEG Ristek yang sekarang dan sebelumnya, sosialisasi tenaga nuklir (termasuk PLTN) dan hasilnya, desakan DPR untuk pembentukan MPTN yang harus didengar lebih dahulu. Trims

Sunday, April 11, 2010

Persepsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap PLTN (1997)

Persepsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap PLTN

"Hingga kini, energi nuklir tetap pilihan terakhir. Apalagi dengan ditemukannya beberapa sumber gas alam di Natuna, Irian Jaya, Kalimantan dan lain-lain. Penggunaan energi nuklir di Indonesia bahkan akan mundur dari tahun 2003 menjadi beberapa puluh tahun kemudian, bisa tahun 2020, bisa tahun 2030, tergantung analisis yang akan dilakukan terhadap skenario kebijakan energi nasional jangka panjang," kata Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie pada pembukaan Konferensi Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Jakarta, 11 Maret 1997.
Di lain pihak, kapanpun PLTN (bila jadi) dibangun, memberikan pengetahuan iptek nuklir kepada masyarakat secara obyektif perlu dilakukan, seperti saran H.A. Amiruddin, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia pada Lokakarya Energi Nasional 16-18 Oktober 1996. Berikut kutipan makalah H.A. Aminuddin secara lengkap.

Pendahuluan

Ada dua cara untuk menghasilkan listrik secara ekonomis dalam skala besar. Pertama menggunakan tenaga air dan kedua menggunakan tenaga panas. Tenaga air memanfaatkan energi grafitasi air terjun, sedangkan tenaga panas memanfaatkan energi yang terdapat pada uap bertekanan tinggi. Kedua-duanya untuk memutar turbin dan generator listrik. Murahnya pusat listrik tenaga air (PLTA) karena ia tidak memerlukan bahan bakar. Bahan bakar PLTA disuplai secara tidak langsung dari energi surya melalui siklus hidrologik. Jadi PLTA satu-satunya pemanfaatan energi surya sebagai pembangkit listrik yang layak secara ekonomi. Uap bertekanan tinggi pada pusat listrik tenaga uap dapat diperoleh dengan cara membakar batubara, minyak, gas kayu dan bahan-bahan lain yang dapat terbakar untuk memanaskan air. Pemanasan air ini juga dapat ditempuh dengan memanfaatkan energi yang dikeluarkan melalui proses pembelahan inti atom uranium (proses fissi inti). Pusat listrik yang terakhir ini dikenal dengan nama Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Dalam sudut pandang kebutuhan energi di masa sekarang dan akan datang, sebagian besar masyarakat sepakat bahwa Indonesia harus meningkatkan suplai energinya, terutama energi listrik yang peningkatan kebutuhannya untuk kini saja gagal diantisipasi oleh PLN. Selain listrik merupakan salah satu komponen dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB), ia mempunyai peranan lain yaitu sebagai pendorong perekonomian, sehingga ada suatu korelasi antara konsumsi energi listrik dan keadaan perekonomian suatu masyarakat. Namun demikian, dari beberapa sumber energi yang ada perlu ditentukan beberapa alternatif pilihan. Alternatif-alternatif tersebut sudah sering ditawarkan oleh pemerintah dan telah banyak dibahas, dikaji dan dikomentari oleh para pakar energi, pakar listrik maupun masyarakat umum.
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana presepsi dan penerimaan masyarakat bila PLTN dipilih sebagai salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik di masa mendatang. Dilihat secara garis besar pasang surut perkembangan pandangan masyarakat dunia tentang PLTN sejak berakhirnya perang dunia II hingga sekarang, kemudian hanya secara garis besar, karena harus diakui bahwa hingga kini belum ada studi yang mendalam dan objektif dalam rangka mengukur presepsi atau penerimaan masyarakat terhadap kehadiran PLTN di Indonesia, akan dibahas berbagai pandangan yang berkembang di masyarakat tentang perlu tidaknya PLTN di Indonesia yang akhir-akhir semakin marak.

Pandangan Masyarakat Terhadap PLTN

Pada awalnya, ada kegairahan pasca perang terhadap segala sesuatu yang bersifat ilmiah yang telah dicakup oleh iptek nuklir, yang menimbulkan optimisme di kalangan media bahwa mobil dan listrik tenaga atom akan membuatnya "terlalu murah untuk diukur". Media memaklumkan bahwa "abad atom telah mulai". Tiga puluh tahun kemudian, pada pertengahan tahun 70-an mulai muncul suatu reaksi karena impian tentang tentang segalanya bertenaga nuklir ternyata tidak realistis. Pada kondisi ini, suara kritis dari gerakan anti nuklir mulai mendapat liputan lebih besar dari media.
Pembalikan opini masyarakat besar-besaran terjadi setelah kecelakaan reaktor nuklir Three Mile Island (TMI) di Amerika Serikat pada tahun 1979. Kecelakaan ini konon disebabkan oleh kombinasi antara kegagalan salah satu bagian peralatan dan kesalahan operator yang akhirnya menyebabkan melelehnya sebagian dari bahan bakar di teras reaktor karena kehilangan air pendingin. Namun demikian pada kecelakaan itu struktur pembungkus reaktor berperilaku sebagaimana yang dirancang sehingga sangat sedikit zat radioaktif yang terlepas keluar bangunan reaktor. Sementara itu efek jangka panjang terhadap kesehatan diperkirakan kurang dari satu kematian statistik pada populasi yang berjumlah lima juta orang.
Media memperlakukan TMI sebagai bencana besar dan bukan sekedar kecelakaan suatu industri mahal. Perlakuan ini sedikit banyak dibantu oleh pejabat hubungan masyarakat industri nuklir yang bertindak tidak pada tempatnya dan klaim yang berlebihan dari gerakan anti nuklir. Dengan terjadinya kecelakaan ini menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tenaga nuklir sebagai pembangkit listrik yang aman. Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya kecelakaan reaktor Chernobyl pada bulan April 1996. Kecelakaan ini menelan korban 31 orang meninggal, 200 orang luka-luka dan sekitar 135 ribu orang pada zone 30 km di sekeliling reaktor dievakuasi, dan sebagian hingga kini belum diperkenankan kembali. Kontaminasi radioaktif tingkat rendah terbawa angin ke daerah yang lebih luas di Uni Sovyet dan Eropa.
Gerakan anti-nuklir di dunia muncul sejak tahun 1950-an ketika Uni Sovyet meledakkan senjata nuklirnya yang pertama pada tahun 1949 yang disusul oleh Inggris pada tahun 1952. Motivasi awal gerakan ini adalah menentang penggunaan nuklir oleh pemerintah mereka untuk senjata pemusnah. Gerakan yang juga menyokong gerakan kampanye anti-nuklir adalah apa yang bila sebutannya diperhalus disebut gerakan kaum "environmentalis". Kata ini perlu diberi tanda petik karena sebenarnya sekarang ini setiap orang dapat disebut sebagai kaum environmentalis. Tidak ada seorangpun yang tidak suka mandi di air yang bersih atau bernafas di udara yang bersih. Sasaran utama dari gerakan ini pada awalnya adalah menentang meningkatnya kontaminasi dan polusi lingkungan dan industri. Mereka mempunyai kecocokan dengan gerakan anti-nuklir karena salah satu polutan di alam ini adalah radiasi nuklir.

Persepsi Penerimaan Masyarakat Indonesia

Introduksi PLTN di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968 melalui seminar Cipayung atas prakarsa Dirjen Tenaga Listrik, Departemen PUTL bekerjasama dengan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Seminar berikutnya diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 19-24 Januari 1970 yang melahirkan usulan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2-PLTN). Sejak saat itu, teknologi PLTN mulai mendapat perhatian serius oleh para ahli nuklir di Indonesia. Persiapan lebih serius dimulai setelah Presiden pada tanggal 11 Desember 1989, meresmikan labolatoria BATAN, LIPI dan BPPT dikawasan Puspitek Serpong, menginstruksikan agar dilakukan usaha persiapan sebaik-baiknya untuk membangun suatu PLTN di Indonesia. Instruksi tersebut dipertegas pada saat peresmian pemakaian beberapa instalasi nuklir yang terletak dikawasan yang sama pada tanggal 12 Desember 1990. Instruksi Presiden ini memberikan dorongan dan pegangan yang kuat bagi para pekerja di bidang penyediaan energi listrik yang selama ini masih merasa ragu untuk merencanakan program energi nuklir di Indonesia. Keraguan ini jelas beralasan karena gencarnya kampanye sekelompok orang yang kurang menyukai pembangkit energi listrik tenaga nuklir. Bagi sebagian anggota masyarakat, kata-kata nuklir mengandung rasa ngeri. Hal ini mudah dipahami karena pertama kali terjadi pemboman nuklir atas Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Usaha persiapan pembangunan PLTN tersebut dijabarkan secara lebih kongkrit dengan keputusan BAKOREN yang menunjuk Batan untuk memulai kegiatan yang terarah menuju pembangunan PLTN. Untuk itu BATAN melakukan pemutakhiran studi kelayakan Pembangunan PLTN yang dimulai sejak akhir tahun 1991 dan berakhir pada pertengahan tahun 1996 ini.
Seiring dengan rencana pemerintah membangun PLTN tersebut, di dalam masyarakat berkembang tanggapan-tanggapan yang bernada setuju dan tidak setuju atau paling tidak bertanya-tanya mengenai rencana tersebut. Akhir-akhir ini sikap setuju dan tidak setuju makin marak berkenaan dengan hampir selesainya studi kelayakan, yang kemudian secara kebetulan disusul dengan adanya RUU Tenaga Nuklir yang diusulkan pemerintah ke DPR. Yang perlu mendapat perhatian dari hasil studi tersebut adalah bahwa dari pihak yang tidak setuju sebagian besar tinjauan yang ditampilkan adalah dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit porsi tinjauan teknis, sedangakan dari pihak yang setuju sebagaian besar tinjauan dari sisi teknis dan implementasi pembangunannya semata dan dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan sosial, kultural, ekonomi dan politis. Menarik pula dipaparkan kembali di sini menurut studi tersebut, lantunan yang sifatnya netral dan informatif sebagaian besar merupakan tinjauan dari segi teknis dan implementasi, sedangkan lantunan yang sifatnya setuju umumnya merupakan propaganda (impelentasi, krisis energi, dan pemasyarakatan). Meskipun validitas studi tersebut masih dapat dipertanyakan, namun paling tidak dapat memberikan gambaran kasar bahwa selama ini ada kesenjangan informasi yang perlu dipertemukan antara yang dilantunkan oleh pihak yang setuju dan tidak setuju. Sedikitnya porsi teknis yang dilantunkan oleh pihak yang tidak setuju adalah wajar karena latar belakang pengetahuan mereka tentang PLTN sebenarnya sangat minim. Oleh karena itu merupakan tantangan bagi pihak yang setuju untuk menyajikan yang benar dan objektif ditinjau dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi dan lingkungan dengan porsi yang lebih besar sehingga dapat mengimbangi lantunan teknisnya.
Secara garis besar, masyarakat yang kurang senang akan kehadiran PLTN dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, pertama adalah kelompok masyarakat awam, bagi mereka nuklir menimbulkan rasa takut, karena kurang paham terhadap sifat-sifat atau karakter nuklir itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa budayawan, politikus, tokoh keagamaan dan beberapa anggota masyarakat umum lainnya. Ke dua adalah masyarakat yang sedikit pahamnya tentang nuklir. Mereka menyangsikan kemampuan orang Indonesia dalam megoperasikan PLTN dengan aman, termasuk pengambilan limbah radioaktif yang timbul dari pengoperasian PLTN itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademis. Ke tiga adalah kelompok masyarakat yang cukup paham tentang nuklir tetapi mereka menolak kehadiran PLTN. Karena mereka melihat PLTN dari kacamata berbeda sehingga keluar argumen-argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang pernah berhubungan dengan masalah keenergian, kelistrikan dan penukliran.

Beberapa Usaha Pemasyarakatan PLTN

Secara umum dapat disarankan memberikan pengetahuan iptek nuklir secara obyektif kepada masyarakat yang belum terkena pengaruh gerakan anti-nuklir adalah cara termudah untuk menghambat kampanye anti-nuklir. Untuk membendung pengaruh tersebut, berikut ini disajikan beberapa di antara banyak langkah yang mungkin dapat ditempuh antara lain :
  • Meluruskan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan
  • Aktivitas anti-nuklir pada umumnya akan megeluarkan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya keliru namun diucapkan secara berulang-ulang. Informasi y ang keliru ini bila tidak dikoreksi akan menjadi kontraversi dalam masyarakat. Sebagai "PLTN dapat meledak seperti bom atom ". Pada kenyataannya tidak mungkin suatu reaktor nuklir dapat meledak seperti bom atom. Hukum fisika tidak memungkinkan itu terjadi. Namun ketidakbenaran ini bila diucapkan berulang-ulang lambat atau cepat semakin banyak orang menerimannya. Contoh yang lebih aktual adalah khabar "akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap penduduk di sekitar calon tapak PLTN". Padahal kenyataannya PLTN merupakan suatu industri energi yang relatif tidak memakan tempat dibandingkan industri energi lain.
  • Memberikan perbandingan resiko antara PLTN dengan aktivitas lain
  • Gerakan anti nuklir biasanya dilatarbelakangi oleh adanya ketakutan terhadap kecelakaan nuklir. Sekecil apapun kecelakaan tersebut pasti akan dijadikan alat untuk kampanye anti nuklir. Pada umumnya aktivis anti-nuklir menolak untuk membuat perbandingan antara resiko PLTN dengan resiko kegiatan manusia sehari-hari yang lain. Padahal di dunia ini tidak ada kegiatan manusia yang bebas resiko, apakah itu mengendarai mobil, menumpang pesawat, membangun dan mengoperasikan pabrik kimia dan termasuk pula mengoperasikan PLTN. Semua kegiatan mengandung resiko, meskipun beberapa kegiatan memiliki resiko yang sangat kecil. Dalam hal pembangkit energi, secara teknis tidak ada pembangkit energi yang mempunyai faktor resiko lebih kecil daripada PLTN.
  • Mengganti emosi dengan akal sehat
  • Masyarakat anti nuklir amat mahir membangun kecemasan masyarakat terhadap kanker akibat radiasi, demikian pula efek genetik akibat radiasi yang sifatnya stokastik sering dilebih-lebihkan sehingga menimbulkan kecemasan yang berlebihan terutama terhadap wanita. Dengan demikian penjelasan yang abyektif terhadap masalah tersebut dari pihak yang berkompeten (misal dari dokter ahli di bidang tersebut) sangat diperlukan.
  • Menguasai media sepenuhnya
  • Media memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk opini masyarakat. Memang harus diakui bahwa karena minimnya pengetahuan para wartawan tentang nuklir, media mengalami kesulitan dalam memberikan cerita yang sebenarnya. Para wartawan sering tidak cukup memiliki pengetahuan tentang suatu topik agar mampu membedakan cerita nuklir yang benar dan sekedar isapan jempol. Akibatnya meskipun jika ceritannya menguntungkan industri nuklir, namun karena desakan keseimbangan berita, media juga harus mengakomodasikan suara-suara dari sudut pandang anti-nuklir. Disinilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh gerakan anti nuklir, karena dengan model pemberitaan seperti ini orang awam menjadi bingung siapa yang benar dan siapa yang salah.
  • Bekerja secara hati-hati dan cermat sehingga hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat benar-benar tidak terbukti.

Secara obyektif, PLTN merupakan suatu industri energi yang relatif paling aman dibandingkan dengan industri energi yang lain. Namun oleh kalangan masyarakat anti-nuklir PLTN dianggap sebagai industri energi yang paling berbahaya. Sikap hati-hati tersebut misalnya dengan tidak berlaku gegabah dengan menggangap bahwa seluruh PLTN itu aman sebagimana 426 Unit PLTN yang sekarang beroperasi di dunia. Jadi setiap PLTN yang akan dibangun harus selalu diteliti dan diawasi kendalanya mulai dari sejak tahap persiapan, pengembangan dan pengoperasian.

10 Alasan kenapa PLTN dibutuhkan di Amerika Serikat

10 Alasan kenapa PLTN dibutuhkan di Amerika Serikat
Menurut NEI (pada 2006) TopTen Alasan Penting Mengapa PLTN Vital bagi Kebijakan Energi AS adalah :

Energi nuklir membantu diversifikasi peran energi di AS.

Diversifikasi   energi  telah  sejak  lama  merupakan  suatu  kekuatan  sistem  perlistrikan AS. Bahkan ketika permintaan listrik meningkat, produksi listrik yang ditingkatkan dari 103 unit PLTN di AS (sekarang 104 unit) telah mempertahankan peran energi nuklir dalam produksi  listrik nasional AS tetap berada dalam angka sekitar 20% untuk selama 15 tahun yang lalu. Perluasan energi nuklir sedang membantu mencegah gangguan harga dan    pasokan yang berkaitan dengan beberapa sumber bahan bakar  yang memiliki dampak yang lebih merusakkan pada ekonomi dan konsumen.

Tenaga nuklir adalah sumber listrik yang efisien dan berkemampuan.

PLTN di AS beroperasi dengan tingkat keselamatan yang utama dalam industri listrik. PLTN menghasilkan 782 milyar kWh listrik pada tahun 2005 – pada tingkat tertinggi kedua yang pernah dicapai dan hanya sedikit kurang dari catatan rekor tertinggi sebesar 789 milyar kWh pada 2004. Efisiensi industri dari 103 unit PLTN yang  menghasilkan  tenaga  sekitar  90% selama waktu 24 jam per hari dalam 7 hari per minggu (24/7) - adalah yang tertinggi diantara semua sumber-sumber tenaga. Energi nuklir juga memiliki ongkos produksi terendah diluar pembangki listrik tenaga air – kira-kira US$. 1,7 sen per kWh.

Tenaga nuklir aman dan dapat diandalkan.

PLTN di AS mempunyai pengalaman operasi gabungan 3.100 reaktor-tahun, dan Angkatan Laut (Nuklir) AS memiliki pengalaman operasi gabungan 5.500 reaktor tahun. Disamping bukti unjuk kerja keselamatannya selama ini, PLTN adalah efisien, khususnya jika dibandingkan sumber listrik berbahan bakar lain. Sebagai contoh, dibandingkan dengan gas alam, ongkos  uranium relatif rendah dan kurang sensitif terhadap  peningkatan harga bahan bakar.
Satu pelet uranium – seukuran ujung sebuah jari kelingking – menghasilkan listrik ekivalen dengan listrik yang dihasilkan oleh 17.000 kaki kubik (ft3) gas alam, 1.780 lb (pound) batubara atau 149 galon minyak bumi.
Untuk menghasilkan 1 kWh listrik, diperlukan 1 pound (lb) batubara  menggunakan turbin uap (PLTU); 0,48 pound gas alam menggunakan turbin uap; 0,37 pound gas alam menggunakan teknologi daur gabungan; 0,58 pound minyak berat menggunakan turbin uap; dan 0,000008 pound uranium diperkaya 4% dalam PLTN komersial.

Tenaga nuklir tidak mengeluarkan gas efek rumah kaca.

Tenaga nuklir menghasilkan energi listrik dalam jumlah besar secara aman dan dapat diandalkan tanpa menghasilkan emisi yang berbahaya. Energi nuklir sejauh ini merupakan sumber listrik terbesar AS yang bebas emisi, memberikan 73% listrik dari sumber-sumber bebas emisi termasuk air, angin dan surya.
Pada tahun 2006, 103 unit PLTN di AS mencegah emisi 3,12 juta ton belerang dioksida; 0,99 juta ton nitrogen oksida; dan 681,2 metrik ton karbon dioksida ke atmosfer bumi. (PLTN nya sendiri memang tidak tetapi untuk pengkayaan uranium diperlukan energi nernahan bakar fosil)

Manfaat udara bersih menarik dukungan baru.

Pemimpin pecinta lingkungan terkenal seperti pendiri Greenpeace Patrick Moore, pendiri Whole Earth Catalog Stewart Brand dan pencipta Gaia Theory James Lovelock telah menyampaikan dukungan mereka pada tenaga nuklir. Isu seperti keprihatinan tentang potensi pemanasan global telah menempatkan penekanan baru pada tenaga nuklir karena tidak menghasilkan gas efek rumah kaca.

Kemajuan pengembangan fasilitas pembuangan bahan bakar bekas.

Pada tahun 2002, Konggres dan Presiden menyetujui Yucca Mountain di Nevada, sebagai tapak yang cocok untuk pengembangan sebuah tempat pembuangan akhir pada lokasi geologis yang dalam untuk bahan bakar nuklir bekas. Departemen Energi (DOE) sedang melanjutkan pekerjaan untuk permohonan izin Yucca Mountain yang akan disampaikan ke badan pengatur nuklir AS, yaitu NRC untuk peninjauan ulang dan persetujuan.
Sekarang ini, bahan bakar nuklir bekas disimpan secara aman di tapak PLTN dan diproteksi dengan baik oleh suatu gabungan konstruksi yang kokoh, perlengkapan surveilen dan deteksi, dan dijaga oleh petugas keamanan paramiliter yang terlatih dan dipersenjatai. ( Sayang proyek Yucca Mountain yang telah memakan dana $US.10 milyar ini tidak akan  dibiayai lagi oleh Pemerintahan Barrack Obama dan izinnya dicabut oleh NRC, sementara akan dikaji untuk kemungkinan proses olah ulang di AS)

Pemimpin nasional mendukung pengembangan tenaga nuklir.
 

Konggres telah menyetujui dan Presiden menandatangani Energy Policy Act 2005, yang memasukkan insentif investasi terbatas untuk riset, pengembangan dan perluasan tenaga nuklir. Legislasi ini – dengan ketentuan lain yang mendukung konservasi, efisiensi energi, produksi baru dan investasi  yang segera diperlukan dalam infrastruktur energi kami – akan membantu kami mencapai tujuan ekonomis, keamanan dan lingkungan.

Masyarakat keuangan berpandangan postif terhadap tenaga nuklir.

Perusahaan keuangan terkemuka seperti Merril Lynch, Prudential Equity Group,  Fitch Ratings Global Group dan Moody’s Investor Services telah menunjukkan bahwa akan ada suatu kebangkitan kembali tenaga nuklir (PLTN) dan memandang hal itu sebagai suatu investasi untuk masa depan.

Ya, untuk tenaga nuklir/PLTN di sekitar kami.
 

Selama  tahun  lalu,  beberapa  negara  bagian dan daerah telah menyetujui resolusi, yang
mengemukakan paket insentif  dan  dukungan  pembangunan PLTN baru di dalam area mereka. Yang pertama dari jenis itu, survei nasional dari sekitar PLTN yang dilakukan oleh Bisconti Research Inc. dengan Quest Global Research Group menemukan bahwa 76% dari orang Amerika yang tinggal lebih dekat dari PLTN menginginkan melihat sebuah PLTN baru dibangun di dekatnya.

Tenaga nuklir adalah suatu teknologi yang dipercaya di luar negeri.

Lebih dari 30 negara mengandalkan tenaga nuklir sebagai sumber energi listrik yang aman dan dapat dipercaya. Sebagai contoh, di Perancis, peranan PLTN dalam pembangkitan listrik nasionalnya mencapai sekitar 80%. Pimpinan negara lain seperti Inggris, Jepang, Jerman, dan Rusia telah menyatakan dukungannya pada tenaga nuklir.

Sumber :  Top Ten Reasons Nuclear Power Is Vital To America’s Energy Policy;
                May 22, 2006;  Nuclear Energy Institute (NEI).

Thursday, March 18, 2010

ANTARA: Presiden Terbitkan Inpres Tentang Sosialisasi PLTN

ANTARA: Presiden Terbitkan Inpres Tentang Sosialisasi PLTN


Jakarta (ANTARA) - Presiden mengeluarkan Inpres No 1 tahun 2010 yang mengharuskan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan sosialisasi tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kepada masyarakat.

"Inpres ini mengharapkan masyarakat semakin bisa menerima rencana pembangunan PLTN," kata Kepala BATAN Dr Hudi Hastowo di sela Seminar "Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia", di Jakarta, Kamis.

Sayangnya, Inpres tersebut tidak dibarengi dengan alokasi anggaran dalam APBN KRT yang rancangannya sudah terlanjur diajukan tahun lalu.

Pihaknya, ujar dia, juga masih mengharapkan keluarnya peraturan lainnya yakni Perpres tentang organisasi yang akan mengelola PLTN. Dengan peraturan ini maka pembangunan PLTN sudah bisa dilakukan.

Rancangan Perpres ini sudah menunggu sekitar 2-3 tahun untuk ditandatangani Presiden.

Dengan dasar UU no 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), menurut Hudi, seluruh persiapan pembangunan PLTN sudah dilakukan, dari mulai riset tentang tapak PLTN, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusianya, kesiapan teknologinya, rancangan peraturan hingga pembiayaannya.

"Jepang sudah menawari bantuan pinjaman hingga dua miliar dolar AS," katanya.

Presiden RI masih mengkhawatirkan penerimaan masyarakat terhadap PLTN khususnya kemampuan SDM dan teknologi.

Hudi mengatakan, kebutuhan energi di Indonesia sangat tinggi, khususnya karena penggunaan energi di Indonesia saat ini masih sangat rendah yakni 500 kW per kapita, jauh dibandingkan negara tetangga misalnya Malaysia yang sebesar 3.000 kW per kapita.

"Tanpa energi tidak akan ada investasi, tak ada pertumbuhan ekonomi dan tak ada kemakmuran," katanya sambil menambahkan bahwa saat ini rakyat Indonesia masih merasa kaya akan minyak, gas dan batubara, tanpa peduli kemungkinan habisnya cadangan energi tersebut beberapa puluh tahun lagi.

Dalam UU RPJM, PLTN Semenanjung Muria seharusnya sudah ditenderkan pembangunannya sejak 2008 dan mulai dibangun pada 2010, sehingga sudah bisa beroperasi pada 2016 dengan kapasitas 2.000 MW.(D009/A024)

Monday, December 21, 2009

Swedia Kembali ke Energi Nuklir

Oleh Mukhlis Akhadi (sumber: Wb)

Menolak nuklir boleh-boleh saja, itu bagian dari demokrasi. Tapi alangkah baiknya kalau mereka yang menolak nuklir itu juga memberi alternatif sumber energi lain yang kompetitif untuk dimanfaatkan di Indonesia. Kalau saya baca siaran pers nya, di bagian akhir hanya memberi dukungan terhadap pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan dengan efisiensi tinggi, tanpa menyebut sumber energinya apa. Artinya para penolak nuklir itu sejatinya tidak memiliki konsep yang jelas tentang energi yang harus dikembangkan di Indonesia. Adakah jenis sumber energi baru dan terbarukan yang lebih spesifik yang harus dikembangkan di Indonesia yang nantinya dapat mengisi kekurangan suplai energi ?

Memberi dukungan terhadap litbang sumber energi baru dan terbarukan OK saja. Masalahnya, tentang litbang energi, para penolak nuklir juga tidak tahu persis sampai kapan litbang itu dapat menghasilkan temuan sumber energi baru yang benar-benar kompetitif untuk Indonesia. Litbang bisa berhasil, tapi juga bisa gagal alias tidak menemukan sumber energi baru apapun yang kompetitif untuk dikembangkan. Belum lagi masalah waktu untuk litbang itu sendiri, dan seandainya berhasil sekalipun, belum tentu temuan baru itu langsung dapat diaplikasikan, belum lagi dilihat dari aspek kompetitifnya.

Masalahnya, para penolak nuklir sepertinya tidak menyadari masalah energi yang saat ini dihadapi Indonesia dan dunia. Cadangan minyak bumi yang semakin menipis dan harganya terus melambung, batubara yang tidak ramah lingkungan dan mengancam penduduk bumi karena memicu pemanasan clobal, permintaan energi yang terus meningkat dari waktu ke waktu karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan laju industrialisasi di berbagai belahan dunia yang ikut meningkat, semuanya perlu keputusan cepat untuk memutuskan sumber energi apa yang harus dipakai untuk mengisi kesenjangan antara suplai dan permintaan terhadap energi tersebut.

Litbang pengembangan sumber energi baru -siapapun tahu- memang diperlukan. Namun apakan kita hanya mengandalkan pada litbang tersebut untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi seperti yang sedang dialami Indonesia saat ini. Tarohlah litbang perlu waktu 20 tahun untuk betul-betul menghasilkan sumber energi baru dan terbarukan yang betul-betul kompetitif (dan inipun tidak ada jaminan untuk berhasil), lantas apa yang akan dipakai untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi dalam kurun waktu tersebut ? Adakah jawaban yang realistis dari para penolak nuklir ?

Dalam kondisi krisis listrik seperti yang dialami Indonesia saat ini, terjadi pemadaman bergilir setiap saat, aktivitas industri terganggu karena kontinyuitas suplai listrik tidak dapat diandalkan, dengan dampak kerugian yang besar di fihak industri, belum lagi terhambatnya investasi karena infrastruktur energi yang tidak memadai, yang berakibat pada terhambatnya pembukaan lapangan kerja baru, sementara pengangguran di tanah air terus meningkat, semuanya itu sepertinya tidak pernah ada dalam fikiran para penolak nuklir. Artinya mereka hanya sekedar menolak penggunaan energi nuklir, tapi tidak memiliki solusi yang membumi yang bisa diwujudkan dalam waktu dekat untuk mengatasi semua permasalahan kelistrikan yang sedang dihadapi bangsa saat ini.

Jeleknya lagi, data-data pendukung yang digunakan untuk menolak nuklir adalah data-data usang, sangat bertentangan dengan data-data terbaru. Betul AS dan Eropa Barat pernah menunda program nuklir setelah infrastruktur energi di negara-negara itu cukup mantab, karena memang didukung oleh penggunaan energi nuklir yang cukup besar. Namun apa yang terjadi saat ini, disaat krisis energi membayang-bayangi penduduk bumi ? AS dan Eropa Barat kembali melirik nuklir. Bagi mereka, memutuskan kembali ke nuklir memang cukup mudah karena sebelumnya sudah cukup lama berpengalaman dalam penggunaan energi nuklir. Di saat nagara-negara maju memutuskan kembali ke nuklir, apa yang bisa dilakukan Indonesia ?

Mengenai hal tersebut, kita bisa melihat kasus yang terjadi di Swedia. Melalui referendum, rakyat Swedia pernah sepakat memutuskan untuk menutup semua PLTN yang beroperasi di negeri itu pada tahun 2010 karena adanya kecelakaan PLTN Three Mile Island, AS, tahun 1979. Referendum berikutnya malah menghendaki mempercepat penutupan semua PLTN di Swedia yang dimajukan ke tahun 2000 karena adanya kecelakaan PLTN Chernobyl tahun 1986. Satu prestasi pernah di catat oleh rakyat Swedia, yaitu menyetop penggunaan PLTA (PLTA, bukan PLTN) sejak tahun 1960 karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya ternyata demikian besar.

Namun apa yang terjadi saat ini di Swedia ? Setelah gagal mendapatkan sumber-sumber energi baru yang dapat menggantikan peran energi nuklir, sementara deadline penutupan PLTN semakin dekat, terpaksa pemerintah Swedia melakukan referendum ulang. Apa hasilnya ? Cukup mengejutkan, yaitu memperpanjang penggunaan energi nuklir sampai ditemukan sumber-sumber energi pengganti yang lebih aman. Namun ternyata tidak memberi batas waktu untuk penggunaan energi nuklir di negeri itu. Belum lama ini misalnya, PLTN Barsebach di Swedia ternyata malah diperpanjang penggunaannya. Artinya, sebagaimana sebelumnya saya sebutkan, rakyat Swedia berhasil melepaskan diri dari PLTA, tetapi ternyata gagal untuk membebaskan diri dari penggunaan energi nuklir.

Apakah para penolak nuklir di Indonesia belajar dari kasus ini ? Kasus serupa pun sebenarnya terjadi di negara-negara industri lainnya. Jerman yang sebelumnya dibangga-banggakan oleh para penolak nuklir karena keputusannya yang sangat berani untuk membebaskan diri dari energi nuklir, berita terkini menyebutkan, ternyata negara itu berbalik haluan untuk tetap mempertimbangkan nuklir sebagai pemasok listrik di masa mendatang. AS, Inggris, Italia sama saja. Sekali lagi, bagi negara-negara yang sebelumnya sudah memanfaatkan energi nuklir, keputusan untuk kembali ke nuklir memang cukup mudah karena pengalaman sudah ada. Namun apa yang bisa diperbuat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energinya di masa mendatang ? Dapatkan para penolak nuklir memberikan solusi yang realistis tanpa nuklir ?

Friday, November 13, 2009

Tantangan Beberapa Negara dalam Pembangunan PLTN

Beberapa pengalaman kesulitan berbagai negara yang akan, sedang membangun dan atau mengoperasikan pltn antara lain adalah :
  • Cuba karena kekurangan dana akibat bubarnya Uni Soviet;
  • Austria karena kehendak referendum rakyatnya meskipun PLTN ybs sudah hampir jadi; Polandia karena demonstrasi hebat rakyatnya yang menentang pltn karena alasan aspek politik dan ekonomi; Meskipun demikian Polandia pada tahun 2025 masih tetap akan merencanakan mengoperasikan pltn standar Eropa.
  • Italia bahkan harus menghentikan semua kegiatan program energi nuklir dengan menutup beberapa pltn dan menghentikan pltn yang sedang dibangun. Sekarang italia berencana menghidupkan lagi program energi nuklir.Sekarang Italia merupakan importir listrik nuklir terbesar (10%)..
  • Phliphina yang sudah menyelesaikan PLTN) Bataan jenis PWR dengan daya 600 MWe, berdasar rekomendasi IAEA terpaksa tidak boleh dioperasikan karena faktor keselamatan dan keamananan. dan rencana
  • Turki untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN banyak ditentang dari pihak LSM luar dan dalam negeri serta kesulitan keuangan.
  • Mesir pada 1981 protokol kerjasama nuklir yang menetapkan konstruksi 2 unit PLTN jenis PWR dengan daya 1000 MWe di tapak ElDabaa dan tapak Za'frana tidak berjalan sebagaimana mestinya. (sumber D.I Wb)

Wednesday, December 3, 2008

Thorium dapat mengatasi masalah energi dunia?

Perkembangan teknologi thorium, barangkali dapat mengatasi masalah energi dunia. Lihat video dibawah ini:



Lihat Reaksi pada skala Laboratorium





Thanks to Google TechTalk Channel providing us such valuable lectures.
ABSTRACT

Electrical power is, and will increasingly become, the desired form of energy for its convenience, safety, flexibility and applicability. Even future transportation embraces electric cars, trains, and chemical fuel production (jet fuel, hydrogen, etc.) based upon an abundant electrical supply. Although existing energy sources can and should be expanded where practical, no one source has shown to be practical to rapidly fulfill the world's energy requirements effectively. Presently there is an existing source of energy ideally suited to electrical energy production that is not being exploited anywhere in the world today, although its existence and practicality has been know since the earliest days of nuclear science. Thorium is the third source of fission energy and the LFTR is the idealized mechanism to turn this resource into electrical energy. Enough safe, clean energy, globally sustainable for 1000's of years at US standards.

This talk is aimed at explaining this thorium energy resource from fundamental physics to today's practical applications. The presentation is sufficient for the non-scientist to grasp the whole subject, but will be intriguing to even classically trained nuclear engineers. By providing the historical context in which the technology was discovered and later developed into a power reactor, the story of thorium's disappearance as an energy source is revealed. But times have changed, and today, thorium energy can be safely exploited in a completely new form of nuclear reactor.

The LFTR is unique, having a hot liquid core thus eliminating fuel fabrication costs and the need for a large reactor. It cannot have a nuclear meltdown and is so safe that typical control rods are not required at all. This design topples all the conventional arguments against conventional energy sources in such areas as:

* Waste Production
* Safety
* Proliferation
* Capital Costs and Location
* Environmental Impact
* Social Acceptance
* Flexibility
* Grid Infrastructure
* Efficiency

Should America take this step toward a New Era in Nuclear Energy Production? Hear the case for "The Electricity Rock" and then decide.

Speaker: Dr. Joe Bonometti

Dr. Bonometti has extensive engineering experience in the government, within industry, and in academia over a 25-year career. Recently completing an assignment as the NASA Chair Professor at the Naval Post graduate School, he supported a ship design study that utilized advanced nuclear power derived from thorium. Working at NASA for ten years as a technology manager, lead systems engineer, nuclear specialist, and propulsion researcher, he lead several NASA tiger teams in evaluating the Nuclear System Initiatives fission demonstration vehicle and missions. He managed the Emerging Propulsion Technology Area for in-space systems, the Marshall Air Launch team, as well as a variety of other power and propulsion assignments and is now the Lead Systems Engineer for the Ares I-Y flight. After earning a Doctorate degree in Mechanical Engineering from University of Alabama in Huntsville, he spent several years as a Research Scientist & Senior Research Engineer at the UAH Propulsion Research Center where he served as a Principal Investigator and manager for the Solar Thermal Laboratory. He has worked as a Senior Mechanical Designer at Pratt & Whitney supporting aircraft engine manufacturing and at the Lawrence Livermore National Laboratory within the laser fusion program. A graduate from the United States Military Academy, at West Point, where he studied nuclear physics and engineering, Dr. Bonometti served as an officer in the United States Army Corps of Engineers; both in combat and district engineering management assignments. He is a Registered Professional Engineer in the State of Virginia, and has authored numerous aerospace technical publications, particularly propulsion and space systems technologies. His technical expertise includes nuclear engineering, specialized mechanical & materials research, space plasmas & propulsion, thermodynamics, heat transfer, and space systems engineering.

Monday, November 24, 2008

Presiden terpilih Barrack Obama akan bersikap lebih lunak terhadap kebijakan energi nuklir Iran

President terpilih Barrack Obama akan bersikap lebih lunak terhadap Iran, demikian pendapat beberapa orang ahli politik luar negeri Amerika Serikat, selengkapnya baca:

With Iran, Obama Needs More Carrot, Less Stick


by Scott Ritter
(source: Truthdig)
Sunday, November 16, 2008

The American people have spoken, and the next president of the United States will be Barack Obama. Running on a platform of change, the president-elect will be severely tested early in his administration by a host of challenges, be they economic, military, environmental or diplomatic in nature. How Obama handles these issues will define his tenure as America’s chief executive, and there will not—nor should there be—a honeymoon period. The challenges of these times do not permit such a luxury, something the president-elect had to know and comprehend when he chose to run for office. John McCain and Hillary Clinton, Obama’s defeated rivals, were both correct when they noted that the next president would need to be ready to govern on day one. Barack Obama has until the 20th of January to get his policies in order, because at one minute past noon on that day, he becomes the most powerful man in a volatile world. While the problems he will face are many, I will focus on what I believe are the four most critical issues that will need to be addressed in the first weeks and months of the Obama administration: Iran, Iraq, Pakistan and Russia. This will be done in a series of articles, the first of which will deal with Iran.

Barack Obama, the candidate, said many things about Iran, some of which were inherently contradictory. In this he is not unique, since the reality of the rough-and-tumble world of American presidential politics requires any given candidate to show extreme flexibility in defining solutions to complex problems, oftentimes based not on the facts as they exist, but rather the fiction of domestic political imperative. Sometimes initial positions are staked out based upon fact-based analysis, only to be corrected as a given domestic constituency expresses unease and imposes its own fantasy-based worldview on the candidate. Nowhere is this process of the fictionalization of fact more prevalent than on the issue of Iran and its nuclear program. One year ago, in an interview with The New York Times, Obama demonstrated a level-headed approach toward Iran, expressing “serious concern” over the country’s nuclear program and its support for what he termed “terrorist organizations.” He grounded his comments in an appreciation for the cause-and-effect relationship between Iran’s involvement in Iraq and the Bush administration’s invasion and occupation of that country. Obama also expressed the need for “aggressive diplomacy” with Iran at the highest levels and emphasized the importance of economic incentives and security assurances when it came to compelling Iran to change course on its nuclear program.

But many months on the campaign trail, fighting a determined Democratic challenger, Hillary Clinton, and a critical Republican Party, compelled the thoughtful Harvard-educated foreign policy neophyte to buckle under the pressure of needing to be seen as “strong” and “determined” in the face of continued Iranian intransigence. In July of 2008, following a series of Iranian ballistic missile tests, which included the Shahib-3 long-range missile, Obama seemed to retreat from diplomacy, noting aggressively that “Iran is a great threat.” Instead of trying to balance the Iranian decision to test its missiles with ongoing militaristic rhetoric from both the United States and Israel (including a large-scale Israeli air force exercise that simulated a strike on Iran), Obama undertook a single-dimension approach toward the problem and predictably came up with an equally simplistic solution: “We have to make sure we are working with our allies to apply tightened pressure on Iran,” including tighter economic sanctions. Obama noted that there was a “need for us to create a kind of policy that is putting the burden on Iran to change behavior, and frankly we just have not been able to do that over the last several years.” Gone was any notion of understanding the cause-and-effect relationships that may have influenced Iran’s actions, or the notion that wrongheaded American policy (such as continued economic sanctions) may in fact have contributed to Iran’s behavior.

If one was hoping that Obama’s sweeping electoral victory in the 2008 presidential election might have liberated him from the need to assume a “tough guy” pose, the recent press conference given by the president-elect set the record straight. “Iran’s development of a nuclear weapon,” Obama stated, “ … is unacceptable. And we have to mount an international effort to prevent that from happening.” Perhaps Obama received some new insight into Iran from his recent access to top-secret CIA intelligence briefings that prompted him to unilaterally declare as fact the existence of an Iranian program to develop nuclear weapons. There is, of course, no substantive data to sustain such an assertion. As a critic of the U.S. intelligence failure concerning Iraq’s WMD programs in the lead-up to the invasion and occupation of that country, as well as the Bush administration’s politicization of intelligence for ideological motives, Obama would do well to take any intelligence briefing on Iran, void of incontrovertible evidence, with much-warranted skepticism.

selengkapnya baca sumber: http://www.campaigniran.org/casmii/index.php?q=node/6890


Partner strategis antara India dan Iran, mendapat sorotan serius Presiden Bush

Para ahli masalah India asal Amerika menganggap bahwa India mencoba membentuk poros India-Iran dalam masalah kontraversi Energi Nuklir Iran. Pembentukan relasi ini, yang disebut sebagai Tehran-New Delhi Axis, cukup mengkawatirkan para ahli Amerika tentang India dan termasuk juga Presiden Bush, kekawatiran ini dapat dibaca pada artikel dibawah ini:

India-Iran ties: The Myth of a 'Strategic' Partnership

Harsh V. Pant
02/11/2008

Despite all the talk of an emerging “strategic partnership” between India and Iran in Washington’s policy-making circles, two recent developments underscore the tenuous nature of India-Iran ties. Tehran has taken up with the Indian government the issue of India launching an Israeli satellite, TECSAR, that many in Israel have suggested would be used to spy on Iran’s nuclear program. More significant, perhaps, is the Indian decision not to attend the proposed trilateral talks in Tehran later this month for finalizing the Iran-Pakistan-India gas pipeline deal, given the non-resolution of the transit fee issue between India and Pakistan.

Ever since the United States and India started to transform their ties by changing the global nuclear order to accommodate India, Iran has emerged as a litmus test that India has had to pass from time to time to the satisfaction of US policy makers. India’s traditionally close ties with Iran have become a factor influencing a US-India partnership. India-Iran ties have been termed variously as an “axis.” a “strategic partnership,” and even an “alliance.” Some in the US strategic community believe that a “Tehran-New Delhi Axis” has been emerging over the past few years that could be significant for the US because of its potentially damaging impact on US interests in Southwest Asia and the Middle East.

Given the recent obsession of US policy makers with Iran, India has been asked to prove its loyalty by backing Washington on Iran’s nuclear program. The Bush Administration stated that if India voted against the US motion on Iran at the International Atomic Energy Agency, the US Congress would likely not approve the US-India nuclear agreement. Congressman Tom Lantos (D-CA) threatened that India “will pay a heavy price for a disregard of US concerns vis-à-vis Iran.” India finally voted in February 2006 to refer Iran to the United Nations' Security Council. This was the second time India voted with the West on the issue. Despite this, many members of Congress continued to demand that the nuclear deal be conditional on New Delhi’s ending all military relations with Tehran.

The Bush Administration insisted that it would oppose any amendment to the nuclear pact that would condition cooperation upon India’s policies towards Iran. However, the US-India Peaceful Atomic Energy Cooperation Act (better known as the Hyde Act) of 2006 contains a 'Statement of Policy' section which explicates a few riders ensuring India’s support for US policy toward the Iranian nuclear issue, in particular “to dissuade, isolate, and if necessary, sanction and contain Iran for its efforts to acquire weapons of mass destruction, including a nuclear weapons capability and the capability to enrich uranium or reprocess nuclear fuel and the means to deliver weapons of mass destruction.” While this has generated considerable opposition in India, President Bush emphasized that his Administration would interpret this as merely “advisory” While the Bush Administration itself has expressed concern about India-Iran ties, it has refused to make them central to the nuclear deal.

However, the American focus on India-Iran ties has been highly disproportionate to the realities of this relationship, a result more of the exigencies of domestic politics than of regional political realities.

Interestingly, the Indian Left has also made Iran an issue emblematic of India’s 'strategic autonomy' and has used it to coerce the Indian Government into following an ideological foreign policy. However, a close examination of the India-Iran relationship reveals an underdeveloped relationship.

selengkapnya baca sumbe: http://casi.ssc.upenn.edu/node/130


India dukung Iran dalam pembangunan PLTN untuk Tujuan Damai, kata menteri luar negeri India

Kontraversi pembangunan PLTN Iran terus berlanjut, sangsi ekonomi yang akan diberlakukan terhadap Iran tidak membuat Iran surut, dan mengurungkan niatnya untuk membangun PLTN dengan tujuan damai. Kontraversi ini dipertajam dengan adanya dukungan India terhadap Iran seperti disampaikan oleh menteriluar negerinya Pranab Mukherjee, beritanya dapat dibaca berikut ini:

(2 Nov 2008)
Iran hasevery right to develop nuclear energy: India

NEW DELHI (IRNA) -- India's External Affairs Minister Pranab Mukherjee has emphasized Iran's right to develop nuclear technology for peaceful uses.

“We firmly are of the view that Iran has every right to develop nuclear energy for peaceful purposes,” he noted.

In an interview with IRNA ahead of departure to Tehran, Mukherjee explained his opinion about his visit to Tehran for participating in Iran-India joint commission before he left India.

Excerpts of interview:

Q: Your Excellency's visit to Tehran is taking place in a desirable circumstance after the inking of the U.S.-India nuclear deal, the visit is, in fact, an affirmation of the strong relations between Iran and India and a rejection of the rumors that the deal may influence the ties between Tehran and New Delhi. What is your views in this regard?

Pranab: India-Iran relations are important in themselves because of our historic, civilizational as well as contemporary ties. Regular exchange of high level visits has always been characteristic of our relations. This is in fact my third visit in about 20 months and underscores both the importance which India gives to its relations with Iran as also the substantive interests India and Iran have in common.

Q: It seems that the relations between Iran and India have to be evaluated without the prospect of peace pipeline. How do you think about this?

Pranab: India and Iran have a broad based relationship and no single issue defines it in its entirety. Energy security is important for India and Iran as a major hydrocarbon exporting country. The energy aspect of our relationship is therefore also extremely important. Both sides are committed to the Iran-Pakistan-India Gas Pipeline Project which is an important part of our much wider relationship on energy related issues.

Q: What percentage of the energy need of India would be met by the U.S.-India nuclear deal? Which are the other plans India is looking for to have access to the secure energy resources?

Pranab: As an energy deficient country we have to use all available sources of energy - Thermal, Hydro, Nuclear, Solar, Wind, etc. Just as the Civil Nuclear Agreement is important from our energy security point of view, similarly, other sources are also important and we will pursue all possible sources to meet our energy requirements so as to ensure that our developmental goals are fully achieved.

baca selengkapnya, sumber : Tehran Times
http://www.tehrantimes.com/index_View.asp?code=181375

India punya 15 reaktor ukuran kecil, 2 ukuran sedang, 6 reaktor sedang dibangun

India secara meyakinkan sudah mempunyai 15 reaktor kecil, 2 ukuran sedang (mid-size) dan 6 reaktor lagi sedang dibangun. Semantara Indonesia, negara berpenduduk no 4 dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat masih memperdebatkan untuk membangun atau tidak PLTN. Bahkan undang-undang yang sudah ditetapkan oleh DPR dianggap angin lalu oleh pemerintahan SBY, yang sedang sibuk untuk menghadapi pemilu 2009. Atmosfir yang ditiupkan oleh orang-orang yang sakit hati, dan organisasi green peace yang menjadi lembaga kepentingan pihak-pihak tertentu terus menyuarakan antipatinya. Pihak pro PLTN tetap berdiam diri. Sampai kapankah pro-kontra PLTN berlangsung, sementara India apalagi China masih tetap konsisten dengan rencana energi mereka, tanpa terganggu dengan krisis Ekonomi global. Baca berita berikut

Nuclear Power in India

(October 2008)
  • India has a flourishing and largely indigenous nuclear power program and expects to have 20,000 MWe nuclear capacity on line by 2020. It aims to supply 25% of electricity from nuclear power by 2050.
  • Because India is outside the Nuclear Non-Proliferation Treaty due to its weapons program, it has been for 34 years largely excluded from trade in nuclear plant or materials, which has hampered its development of civil nuclear energy.
  • Due to these trade bans and lack of indigenous uranium, India has uniquely been developing a nuclear fuel cycle to exploit its reserves of thorium.
  • From 2008, foreign technology and fuel are expected to boost India's nuclear power plans considerably.

Electricity demand in India has been increasing rapidly, and the 534 billion kilowatt hours produced in 2002 was almost double the 1990 output, though still represented only 505 kWh per capita for the year. In 2005, 699 billion kWh gross was produced, but with huge transmission losses this resulted in less than 500 billion kWh consumption. The per capita figure is expected to almost triple by 2020, with 6.3% annual growth. Coal provides 69% of the electricity at present, but reserves are limited.

Nuclear power supplied 15.8 billion kWh (2.5%) of India's electricity in 2007 from 3.7 GWe (of 110 GWe total) capacity and this will increase steadily as imported uranium becomes available and new plants come on line. India's fuel situation, with shortage of fossil fuels, is driving the nuclear investment for electricity, and 25% nuclear contribution is foreseen by 2050, from one hundred times the 2002 capacity. Almost as much investment in the grid system as in power plants is necessary.

In 2006 almost US$ 9 billion was committed for power projects, including 9354 MWe of new generating capacity, taking forward projects to 43.6 GWe and US$ 51 billion.

A KPMG report in 2007 said that India needed to spend US$ 120-150 billion on power infrastructure over the next five years, including transmission and distribution. It said that distribution losses are currently some 30-40%, worth more than $6 billion per year.

The target since about 2004 has been for nuclear power is to provide 20,000 MWe by 2020, but in 2007 the prime Minister referred to this as "modest" and capable of being "doubled with the opening up of international cooperation." However, it is evident that on the basis of indigenous fuel supply only, the 20,000 MWe target is not attainable, or at least not sustainable without uranium imports.

Nuclear power industry development

Nuclear power for civil use is well established in India. Its civil nuclear strategy has been directed towards complete independence in the nuclear fuel cycle, necessary because it is excluded from the 1970 Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) due to it acquiring nuclear weapons capability after 1970. (Those five countries doing so before 1970 were accorded the status of Nuclear Weapons States under the NPT.)

As a result, India's nuclear power program has proceeded largely without fuel or technological assistance from other countries (but see later section). Its power reactors to the mid 1990s had some of the world's lowest capacity factors, reflecting the technical difficulties of the country's isolation, but rose impressively from 60% in 1995 to 85% in 2001-02.

India's nuclear energy self-sufficiency extended from uranium exploration and mining through fuel fabrication, heavy water production, reactor design and construction, to reprocessing and waste management. It has a small fast breeder reactor and is building a much larger one. It is also developing technology to utilise its abundant resources of thorium as a nuclear fuel.

The Atomic Energy Establishment was set up at Trombay, near Mumbai, in 1957 and renamed as Bhaba Atomic Research Centre (BARC) ten years later. Plans for building the first Pressurised Heavy Water Reactor (PHWR) were finalised in 1964, and this prototype - Rawatbhata-1, which had Canada's Douglas Point reactor as a reference unit, was built as a collaborative venture between Atomic Energy of Canada Ltd and NPCIL. It started up in 1972 and was duplicated Subsequent indigenous PHWR development has been based on these units.

The Nuclear Power Corporation of India Ltd (NPCIL) is responsible for design, construction, commissioning and operation of thermal nuclear power plants.

It has 15 small and two mid-sized nuclear power reactors in commercial operation, six under construction - including two large ones and a fast breeder reactor, and more planned.

selengkapnya baca: http://www.world-nuclear.org/info/inf53.html