Tuesday, May 27, 2008

Indonesia to take decision on OPEC membership by Nov: official

Jakarta (Platts)--27May2008

Indonesia expects to decide by November whether to maintain its
membership of OPEC or quit the group, the country's OPEC governor Maizar
Rahman said Tuesday.
 
     "The team [set up to evaluate the country's OPEC membership] has yet to
recommend anything to the government. We hope we could give a recommendation
between October-November this year," Rahman said. 
 
     Meanwhile, energy minister Purnomo Yusgiantoro said when asked whether
the government has reached a final decision over its OPEC membership: "It has
yet to be decided. There is plenty of time to exercise many possibilities."
     If Indonesia does decide to leave the oil producer group, it will come
into effect on January 1, 2009, Yusgiantoro said.
 
     Indonesia is considering withdrawing from OPEC because it is no longer a
net exporter of oil, President Susilo Bambang Yudhoyono has said. 
 
     The issue is whether to quit OPEC temporarily or remain a member while
the country tries to increase oil production, according to Yusgiantoro.
 
     Rahman said Tuesday that he favored maintaining OPEC membership, as it
would help Indonesia secure crude oil supplies amid tightening global
supply-demand balances.
 
     "Consumer countries will compete to secure crude oil. Japan, China and
India have offered technologies to Middle East countries in a bid to get crude
oil supply guarantees from producer countries. Therefore Indonesia should
maintain its OPEC membership to secure its crude supply from other OPEC
members, as we could not offer technology," Rahman said.
      He reiterated that other OPEC members have no problem with Indonesia's
crude oil production decline in recent years.    
     Indonesia's crude output has been falling because of natural declines at
ageing fields and it missed its 2007 target for oil and condensate output of
950,000 b/d, pumping only 910,000 b/d. 
       In April, the country's crude oil production averaged 859,853 b/d, down
by 1% from March.
      Even if Indonesia leaves OPEC, it could, like Ecuador, rejoin if it
manages to increase output and become a net exporter again, Rahman has said
previously.
 
     Ecuador left the organization in the early 1990s but resumed its
membership in November 2007. 
      Indonesia joined OPEC in 1962. In 2005, the government considered
quitting the group but decided that membership gave economic and political
benefits to the country.

Sumber: http://www.platts.com//HOME/News/8760247.xml
 
 

PLTN Indonesia Beroperasi Mulai Tahun 2017

Energi nuklir juga akan dikembangkan di Indonesia. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro berdasarkan roadmap pengembangan yang disiapkan pemerintah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mulai dibangun tahun 2016. Sedang tahun 2017 diharapkan mulai bisa beroperasi.

Energi nuklir merupakan bagian dari pengembangan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan energi di Indonesia. ’’Batubara merupakan bahan bakar utama pembangkit listrik di Indonesia. Selain itu juga dikembangkan energi baru dan terbarukan termasuk energi nuklir,’’ ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro saat berbicara pada IndoNuclear di Jakarta, (2/4).

Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, kontribusi energi nuklir dalam energi mix di Indonsia akan mencapai sekitar 4000 MW pada tahun 2025. Pengembangan energi nuklir didasarkan pada PP nomor 43/2006 serta UU nomor 17/2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005-2015. Serta pembentukan Tim Persiapan Pembangunan PLTN.

Indonesia memiliki cadangan mineral radioaktif yang tersebar diberbagai lokasi. Di kawasan Kayan, Kalimantan Barat, misalnya, saat ini terdapat cadangan sekitar 24,110 ton yang bisa untuk memproduksi 3 GWh selama 11 tahun. “ Cadangan lainnya tersebar di Sumatera, Sulawesi serta Papua,’’ papar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.

Peran energi nuklir, menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, diperkirakan akan sangat penting bersama sumber energi baru dan terbarukan lainnya dalam menjamin pasokan dan keamanan energi listrik di Indonesia. Sebagaimana terjadi diberbagai negara lain pengembangan energi nuklir umumnya diiringi dengan menurunnya kontribusi bahan bakar lain untuk pembangkit listrik.

Perkembangan energi nuklir untuk pembangkit listrik mengalami perkembangan yang cepat dalam beberapa tahun belakangan. Saat ini sedikitnya terdapat sekitar 426 PLTN yang dioperasikan diberbagai negara. Amerika, Jepang dan Korea merupakan negara yang membangun PLTN dalam jumlah besar. Selain itu PLTN juga dikembangkan oleh India, China, Brasil, dan Finlandia.

sumber: http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3992&Itemid=687

Menristek: PLTN Amanah UU

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kadiman, menyatakan bahwa heran ada pihak-pihak yang memaksa rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dihentikan, padahal soal PLTN sudah diatur dalam Undang-Undang (UU).

"Kami tidak mengerti mengapa PLTN tidak boleh dibangun, padahal itu adalah amanah undang-undang. Jelas disebutkan itu (PLTN), sehingga kalau tidak dilaksanakan pemerintah bisa kena impeachment (pemakzulan -red)," kata Kusmayanto di sela Diskusi Interaktif "Globalization - Opportunities for Innovation" di Jakarta, Kamis.

Yang ia lebih heran, ada anggota DPR yang marah-marah atas rencana pembangunan PLTN dan lupa bahwa UU itu disusun oleh eksekutif bersama legislatif.

UU yang mengamanahkan pembangunan PLTN adalah UU Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.

UU tersebut menyebutkan PLTN menjadi energi alternatif yang harus dibangun untuk mencukupi kebutuhan energi nasional di masa datang. Selain itu ada juga Perpres no 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Sementara itu, Pakar Nuklir dari Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL), Dr Mohammad Ridwan, mengatakan bahwa isu negara-negara maju mulai mematikan (shutdown) PLTN-PLTN-nya adalah isu salah kaprah.

"Memang sudah ada sekitar 60 PLTN di dunia dimatikan, tetapi bukan karena faktor keselamatan. PLTN-PLTN ini sudah tua dan dayanya kecil, sudah tidak ekonomis lagi," katanya.

Ia mencontohkan, Prancis yang mematikan 11 reaktornya yang berdaya 43 MW - 500 MW dan karena usianya yang sudah di atas 20 tahun.

Jerman, ujarnya, juga mematikan lima reaktornya yang buatan Uni Soviet ketika Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung kembali dan mematikan satu PLTN berdaya 1.219 MW di Mulheim-Kaerlich pada usianya yang baru 13 bulan karena terletak pada struktur patahan. Sedangkan Inggris mematikan 10 PLTN berusia 18?26 tahun.

"Sehingga, total selama 20 tahun sejak kecelakaan Chernobyl di Eropa telah dimatikan 38 PLTN tua dengan daya kecil dan tidak ekonomis, kemudian dibangun dan dioperasikan 21 PLTN baru dengan daya besar," katanya.

Demikian pula di AS, 18 PLTN dimatikan karena daya kecil dan tua, namun untuk memenuhi kebutuhan lisriknya 26 PLTN baru dibangun dan dioperasikan, ujarnya. (*)

sumber: http://www.antara.co.id/arc/2008/3/13/menristek-pltn-amanah-uu/

ENERGI NUKLIR SEBAGAI ALTERNATIF PASOKAN LISTRIK DUNIA

Dalam benak kita, nuklir sangat identik dengan senjata pemusnah massal layaknya bom atom, atau bahaya radiasi akibat kecelakaan instalasi seperti yang terjadi di Chernobyl (Ukraina) dan Three Mile Island, AS. Kini, hal tersebut sudah tidak relevan lagi.

Energi nuklir merupakan hasil dari reaksi fisi yang terjadi pada inti atom. Dewasa ini, reaksi inti yang banyak digunakan oleh manusia untuk menghasilkan energi nuklir adalah reaksi yang terjadi antara partikel dengan inti atom yang digolongkan dalam kelompok heavy atom seperti aktinida.

Berbeda dengan reaksi kimia biasa yang hanya mengubah komposisi molekul setiap unsurnya dan tidak mengubah struktur dasar unsur penyusun molekulnya, pada reaksi inti atom atau reaksi fisi, terjadi perubahan struktur inti atom menjadi unsur atom yang sama sekali berbeda.

Pada umumnya, pembangkitan energi nuklir yang ada saat ini memanfaatkan reaksi inti antara neutron dengan isotop uranium-235 (235U) atau menggunakan isotop plutonium-239 (239Pu). Hanya neutron dengan energi berkisar 0,025 eV atau sebanding dengan neutron berkecepatan 2200 m/ detik akan memiliki probabilitas yang sangat besar untuk bereaksi fisi dengan 235U atau dengan 239Pu.

Neutron meripakan produk fisi yang memiliki energi dalam kisaran 2 MeV. Agar neutron tersebut dapat beraksi fisi dengan uranium ataupun plutonium diperlukan suatu media untuk menurunkan energi neutron ke kisaran 0,025 eV, media ini dinamakan moderator. Neutron yang melewati moderator akan mendisipasikan energi yang dimilikinya kepada moderator, setelah neutron berinteraksi dengan atom-atom moderator, energi neutron akan berkisar pada 0,025 eV.

Reaksi fisi

Secara garis besar reaksi fisi yang terjadi antara neutron dengan isotop uranium (235U) dalam reaktor nuklir dapat digambarkan sebagai berikut. Neutron dengan energi berkisar 0,025 eV akan bereaksi dengan atom 235U menjadi 236U yang sangat tidak stabil, kemudian dalam waktu sangat singkat 236U pecah (fision) menjadi dua buah produk fisi X1 dan X2 serta 2 atau 3 buah neutron dan energi. Reaksi ini dapat dirumuskan sebagai berikut;

N + 235U→236U→X1 + X2 + (2 atau 3) n + E

Energi dari reaksi fisi (E) sebagian besar akan dibawa oleh produk fisi dalam bentuk energi kinetik yang terdeposisikan di dalam medium bahan bakar nuklir dalam bentuk panas akibat pergerakan produk fisi. Energi panas ini kemudian diambil untuk pembangkitan energi listrik pada sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pengambilan panas dari inti reaktor bisa dengan mempergunakan media air, seperti yang umum dipergunakan pada PLTN saat ini.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Pada prinsipnya sistem kerja pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN tidak ubahnya seperti prinsip kerja dari sebuah pembangkit listrik yang memanfaatkan panas sebagai pembangkit uap. Uap air yang bertekanan tinggi digunakan untuk menggerakkan turbin, kemudian turbin menggerakkan generator, dan generator menghasilkan listrik.

Perbedaan utama antara PLTN dengan pembangkit listrik tenaga konvensional adalah terletak pada pemanfaatan bahan bakar yang digunakan untuk menguapkan air. Pada pembangkit listrik konvensinal untuk menghasilkan panas menggunakan bahan bakar berupa minyak, gas alam, ataupun batubara (energi fosil). Sementara pada PLTN menggunakan uranium ataupun plutonium yang direaksikan dengan neutron dalam sebuah reaksi fisi yang akan menghasilkan panas untuk kemudian membangkitkan uap bertekanan tinggi guna memutar turbin.

Menurut data yang dilansir oleh Badan Atom Nasional (BATAN), pada situsnya, disebutkan bahwa pada 2002 di seluruh dunia jumlah pembangkit listrik tenaga nuklir yang telah dioperasikan mencapai angka 438 unit dengan kapasitas listriknya sebesar 353.298 MWe. Sementara terdapat 32 unit berkapasitas hingga 28.438 MWe dalam proses konstruksi.

Jenis reaktor nuklir

Pengembangan energi nuklir untuk tujuan sipil seperti reaktor nuklir untuk pembangkit daya listrik dimulai secara intensif setelah konferensi Genewa bertajuk "On the peaceful uses of atomic energy" yang di sponsori oleh PBB tahun 1955.

Terdapat beberapa jenis reaktor nuklir dalam skala komersial. Reaktor tersebut dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu reaktor nuklir dengan proses reaksi fisi yang diakibatkan oleh neutron thermal yang kemudian disebut dengan thermal reactor, dan reaktor nuklir dengan proses fisi yang terjadi pada energi neutron yang tinggi (fast neutron) disebut reaktor cepat (fast reactor).

Reaktor cepat tidak memerlukan moderator, sementara reaktor thermal membutuhkan moderator untuk mengurangi energi neutron cepat menjadi neutron thermal. Tipe reaktor thermal yang ada banyak sekali, seperti reaktor berpendingin air ringan (light water moderated reactor atau LWR), reaktor berpendingin air berat (heavy water moderated reactor atau HWR), reaktor berpendingin gas (gas-cooled reactor), dan reaktor temperatur tinggi berpendingin gas (high temperature gas-cooled reactor atau HTGR).

Light water moderator reactor terbagi dalam dua tipe, yaitu presurrized water reactor (PWR) dan boiling water reactor (BWR). Sementara itu heavy water moderated reactor (HWR) untuk tujuan komersial terdapat dua tipe utama, tipe pertama dalah pressurized heavy water reactor (PHWR) dan tipe keduanya adalah boiling light water reactors (BLWR). Reaktor Canadian Deuterium Uranium (CANDU), reaktor nuklir yang dikembangkan oleh Kanada dengan mempergunakan air berat (D2O) sebagai moderator termasuk di dalam kedua tipe ini. Sistem steam-generating heavy water reactor (SGHWR) dapat dijumpai pada reaktor nuklir di Inggris dengan versi jenis BLWR. Reaktor FUGEN Jepang bisa dikategorikan sebagai BLWR sejak dipergunakannya air berat (heavy water) sebagai moderator dan air ringan (light water) sebagai pendinginnya.

Yang tergolong dalam gas cooled reactors adalah Magnox gas cooled reactor (GCR) dan advanced gas cooled-reactor (AGR). Kelompok HTTR terdiri dari HTGR dengan bahan bakar uranium disebut HTR, dan HTGR dengan berbahan bakar uranium dan thorium (THTR).

Jenis lainnya terdapat di Rusia yaitu graphite moderated light water reactor (RBMK). Reaktor jenis satu ini tidak menggunakan moderator pada reaktor cepat atau fast breeder reactor (FBR), sehingga ukuran reaktor menjadi lebih kecil, dengan laju transfer panas yang tinggi. Sebagai pendinginnya digunakan logam cair (liquid metal) dan gas helium bertekanan tinggi (high-pressure helium gas).

Pertumbuhan penduduk dan cadangan energi global

Pada 2001, bumi yang sudah sangat tua ini dihuni oleh 6 milyar orang. Berdasarkan data dari United Nation Long-Range World Population Projections, populasi dunia pada 2015 akan bertambah menjadi 7.2 milyar, pada 2025 naik menjadi hampir 8 milyar jiwa dan akan menjadi 9.3 milyar di tahun 2050.

Pertumbuhan penduduk dunia yang cepat ini akan berakibat pada penyusutan sumber daya alam tak terbarukan secara cepat pula. Hal ini disebabkan pemenuhan kebutuhan energi dunia, di mana kebutuhan energi primer global mencapai 87% dan energi listrik sebesar 63%, berasal dari bahan bakar fosil. Oleh karenanya minyak bumi dengan kapasitas yang tersedia secara global sebesar 1.195 triliun barel, dapat digunakan hingga 43 tahun. Batu bara, dengan cadangan global 1316 triliun ton akan habis digunakan selama 231 tahun. Sementara gas alam mempunyai cadangan global 144 triliun m3, dapat digunakan tidak lebih dari 62 tahun.

Cadangan global uranium diperkirakan sekitar 4.36 juta ton. Dalam reaktor nuklir, bahan bakar nuklir yang sudah dipergunakan dapat didaur ulang, jika hal ini dilakukan pada pembangkit listrik tenaga nuklir di dunia, semua sisa uranium dapat menjadi suplai energi untuk ribuan tahun. Selaian itu di dunia juga diketahui terdapat 4 miliar ton uranium dalam konsentrasi rendah di lautan dan terdapat thorium, zat lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan bakar nuklir, sebanyak tiga kali jumlah uranium. Oleh karenanya energi nuklir dapat digunakan jutaan tahun.

Perbandingan energi

Densitas energi nuklir sangat tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan batu bara ataupun minyak bumi. Sebagai ilustrasi, dalam 1 kg uranium dapat menghasilkan energi listrik sebesar 50.000 kWh bahkan dengan proses lebih lanjut dapat mencapai 3.500.000 kWh. Sementara 1 kg batu bara dan 1 kg minyak bumi hanya dapat menghasilkan energi sebesar 3 kWh dan 4 kWh.

Pada sebuah pembangkit listrik non-nuklir berkapasitas 1000 MWe diperlukan 2.600.000 ton batu bara atau 2,000,000 ton minyak bumi sebagai bahan bakarnya. Sementara pada pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kapasitas listrik yang sama hanya memerlukan 30 ton uranium dengan teras reaktor 10 m3, sebagai bahan bakarnya. Saat ini, kontribusi energi nuklir terhadap pasokan kebutuhan energi primer dunia sekitar 6% dan pasokan kebutuhan energi listrik global sekitar 17%.

Bayangan akan Bom Atom dan kecelakaan radiasi nuklir sudah selayaknya dibuang jauh-jauh dan dijadikan sebuah pelajaran berharga dalam penggunaan energi nuklir, tidak lagi dijadikan momok yang dapat menghambat pemanfaatan energi nuklir sebagai alternatif pasokan kebutuhan energi listrik dunia. (Anang/ dari berbagai sumber)

Saturday, May 24, 2008

Nuklir Sumber Energi Alternatif, Kenapa Takut?

“Nuklir? Aman?” tanya Hendra (28) ketika mendengar energi tersebut akan dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria oleh Pemerintah Indonesia.

Ia agak jengah ketika mendengar kata nuklir, ada rasa takut yang sedikit terbayang. Pengalaman dua kota, Hiroshima dan Nagasaki yang di bom atom 51 tahun lalu, membuatnya berpikir macam-macam.

Anggapan tersebut mungkin tak aneh. Nuklir memang tak diragukan mempunyai radiasi yang berbahaya bagi manusia. Akan tetapi dengan pengolahan yang aman, energi nuklir dapat menjadi pilihan alternatif energi yang solutif.

“Sekitar 1,6 miliar orang tidak mempunyai akses listrik dan 2,4 miliar lainnya mengan-dalkan sumber energi tradisional karena tidak memiliki akses pada energi modern,” kata Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Inter-nasional (IAEA), Muhamed Elbaradei, dalam lawatannya ke Indonesia beberapa waktu lalu

Kendati energi nuklir bukan menjadi satu-satunya solusi bagi krisis energi dunia, direktur atom dunia ini selalu menekankan kepada anggotanya untuk kembali mempertimbang-kan penggunaan energi nuklir ini.

Di dunia, sampai Oktober 2006 lalu, tercatat 442 pembangkit tenaga nuklir di 30 negara yang menyuplai 16% dari kebutuhan energi listrik dunia. Indonesia pun tak keting-galan, sebuah Peraturan Presiden No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Mix Nasional juga telah diluncurkan beberapa waktu silam.

Nuklir, Energi Solusi?

Dibanding dengan emisi gas karbon dari bahan bakar fosil yang mempunyai berbagai efek semisal polusi dan perubahan iklim yang dapat menyebabkan peningkatan tempe-ratur bumi; naiknya permukaan laut; ke-keringan dan badai, penggunaan nuklir me-mang cenderung masih menjadi pilihan.

Cadangannya pun terbilang tak sedikit, diperkirakan masih terdapat sekitar 4.36 juta ton uranium dunia yang cukup untuk dijadikan sumber energi selama ratusan tahun. Selain itu, pada sebuah reaktor nuklir, bahan bakar nuklir yang telah digunakan pun dapat didaur ulang. Sehingga sisa uranium dapat dijadikan menjadi sebagai sumber energi yang lain.

Tak hanya itu, nuklir juga memiliki daya untuk menghasilkan energi yang tinggi. Dalam 1 kg uranium dapat menghasilkan energi listrik sebesar 50.000 kWh. Bandingkan dengan 1 kg batu bara atau 1 kg minyak bumi yang hanya bisa menghasilkan energi sebesar 3 kWh dan 4 kWh saja.

Wah..tentu sebuah penghematan yang luar biasa. Terlebih bila melihat fakta bahwa kebutuhan energi listrik Indonesia senantiasa tumbuh pada tingkat 10% per tahun.

Indonesia Siap Untuk Nuklir

Niatan Indonesia untuk menjajaki peng-gunaan energi alternatif ini setidaknya telah diwujudkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) kerjasama promosi di bidang PLTN yang di-tandatangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro dengan Menteri Komersial, Industri dan Energi Korea Selatan (Korsel), Chung Sye Kyun, beberapa saat silam.

Kendati MoU tersebut belum berbicara tentang pembangunan PLTN di Indonesia, namun hal penting adalah adanya upaya mensosialisasikan rencana pemerintah Indonesia untuk mem-bangun PLTN di masa depan.

“Tolok ukurnya adalah faktor pemahaman dari masyarakat (public acceptance). Diharapkan dengan upaya pengenalan, pro-mosi dan sosialisasi tentang ke-butuhan PLTN, masyarakat dapat memahami dan menerima ke-beradaan PLTN terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah dimana PLTN akan dibangun,” kata Purnomo.

Korsel sendiri menjadi pilihan dalam investasi karena selain telah memiliki 20 PLTN dengan total ka-pasitas 17.700 Mega Watt (MW) dan tengah menggarap pemba-ngunan 4 PLTN lain, teknologi PLTN yang dikembangkannya se-suai dengan teknologi PLTN yang sudah dikembangkan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

Semenanjung Muria

Soal lokasi PLTN, Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi Depar-temen ESDM, J Purwono menga-takan, sesuai hasil penelitian pem-bangunannya akan dilakukan di Pulau Jawa, yakni di sekitar Seme-nanjung Muria, Jawa Tengah.

“Perimbangannya ekonomis. Di samping itu, jaringan transmisi kelistrikan yang sudah permanen adalah Jawa-Bali, sehingga sangat cocok PLTN dibangun di dekat pusat beban,” kata Purwono

PLTN ini ditargetkan akan beroperasi pada 2015-2017 de-ngan kapasitas 1.000 MW. Kerjasama lain dengan Korsel juga akan dilakukan di bidang hulu dan hilir migas, ketena-galistrikan, mineral, batubara dan panas bumi serta kerja-sama pendidikan dan teknik tenaga nuklir. Sampai saat ini investasi Korea Selatan di Indonesia telah mencapai 1,1 miliar dolar AS (sekitar Rp10 triliun).

Sambutan lain juga datang dari IAEA. Lembaga atom interna-sional yang beranggotakan 143 negara dunia itu, menganggap Indonesia telah menjadi rekan kuat dengan menandatangani perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT), mendukung Konvensi Keamanan Nuklir, Konvensi Perlindungan Fisik Materi Nuklir, dan berpartisipasi penuh dalam Jaringan Keamanan Nuklir Asia.

Karenanya organisasi yang berpusat di Wina, Austria ini telah membangun program kerjasama teknis semisal pembuatan pusat radioterapi pertama di Kalimantan yang dijadwalkan beroperasi tahun depan.

Tak hanya itu, teknik nuklir untuk menilai dan mengatur sumber air-tanah Indonesia, pengawasan kualitas dan polusi di sejumlah sungai di Indonesia, dan peningkatan nutrisi untuk hewan ternak juga tengah digarap.

Memang tidak ada jaminan pasti terhadap keamanan dari energi nuklir, namun dampak negatifnya bisa diatasi jika limbah industri tersebut ditangani secara benar. Bila demikian, energi ini bukan tak mungkin akan menjadi sumber energi di masa mendatang. Jadi, siap-siap “bernuklir ria”. ***(hbk/dan)

sumber:KomunikA

PLTN Solusi Atasi Krisis Energi

www.technologyindonesia.com (Lea)

Perlahan namun pasti Indonesia berencana mengembangkan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Peraturan Pemerintah No.43/2006
tentang perizinan Reaktor Nuklir tertanggal 15 Desember 2006 lalu,
merupakan momentum awal kebijakan pemerintah Indonesia
mengenai PTLN. Kini, tinggal menunggu dikeluarkannya Keppres bagi
kalangan investor untuk terlibat dalam pengembangan PLTN di
Indonesia. Namun, mengapa sebagian masyarakat menolak keras?
-----
Energi nuklir untuk tujuan sipil seperti reaktor nuklir pembangkit daya
mulai gencar dikampanyekan setelah konferensi Genewa "On the
peaceful uses of atomic energy" yang di sponsori PBB sekitar 1955.
Pada mulanya perjanjian ini disepakati lima negara besar pemilik
senjata nuklir, dengan tujuan agar tidak melakukan transfer teknologi
senjata nuklir ke negara lain. Selain itu, untuk pengurangan produksi
dan penghancuran senjata nuklir saat itu.
Hingga 1973 Amerika Serikat mengalami embargo minyak. Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mampu membantu negara Paman Sam
tersebut mengatasi krisis energi. Sekitar 17% sumber listrik dipasok
dengan membakar minyak dan hanya 5% dipasok dari energi nuklir.
Namun, dalam waktu 20 tahun kemudian (1993) sumber listrik dari
minyak bumi hanya sekitar 3%, sedangkan pasokan listrik energi nuklir
naik menjadi 20%.
Di Jepang, desain PLTN dibangun anti gempa sehingga mampu
beroperasi dan memasok listrik kala gempa dasyat melanda sekitar
musim dingin 1995. Lain halnya dengan Korea Selatan, pengembangan
PLTN mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya, dari
semula 400 dolar AS/tahun pada 1970 menjadi 10.000 dolar AS/tahun
pada 2000.
Kendati dinilai menguntungkan bagi masyarakat di beberapa negara,
namun Indonesia tidak serta merta mengambil keputusan serupa
meskipun dalam beberapa tahun ini sudah mengalami kesulitan
pasokan BBM untuk pembangkit listrik. Beberapa pengamat energi
bahkan memprediksikan, Indonesia akan menjadi negara pengimpor
minyak pada 2020.
Tentunya, pemerintah tidak tinggal diam menghadapi masalah pelik di
bidang sumber energi untuk pembangkit listrik ini. Dalam beberapa
tahun terakhir, langkah mencari energi alternatif giat dilaksanakan.
Listrik umumnya dibangkitkan dari turbin yang digerakkan uap air. Uap
air dihasilkan dengan mendidihkan air dalam bejana (boiller). Bahan
bakar yang sering digunakan untuk mendidihkan air inilah yang
membedakan nama pembangkit listrik. Pembangkit yang menggunakan
bahan bakar fosil, biasanya disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU).
PLTU sudah tersebar di Indonesia, dan telah mengalami masalah
pergiliran pasokan arus listrik, harga, bahkan polusi. Masalah pergiliran
pasokan arus listrik disebabkan masalah pasokan yang terbatas, karena
tak adanya cadangan sumber listrik. Tentunya, harga dipastikan naik
terus mengikuti harga minyak bumi.
Sementara itu, penggunaan batu bara untuk suatu PLTU mulanya
memang murah, namun sumber polusi banyak dikeluhkan. Jika gas,
seperti SO2,CO2,NOX, sebagai hasil pembakaran disaring menggunakan
filter, maka harga listrik menjadi tinggi dan tak kompetitif dengan
pembangkit lain. Sebaliknya, jika tidak dilakukan tindakan, akan
menyebabkan pencemaran dan merusak lingkungan. Selain itu, PLTU
batu bara masih mengeluarkan radioaktif alam hasil pembakaran dan
debu hasil pengangkutan yang setiap tahunnya mencapai 300.000 ton
pada kapasitas 1000 Mega Watt elektrik (MWe).
Alternatif sumber energi pembangkit daya yang paling aman dan murah
adalah tenaga air. Namun tenaga air ini sangat tergantung curah hujan
dan memerlukan lahan yang sangat besar untuk menampung air.
Padahal lahan yang digunakan cukup subur untuk ditanami tanaman
pangan, serta jumlahnya terbatas, dan lokasinya tak dapat dipindahkan
sesuai keperluan. Demikian pula dengan panas bumi, selain lokasi,
teknologi untuk mengatasi belerang belum ada.
Satu lagi bahan bakar untuk mendidihkan air yaitu uranium 235 dalam
PLTN. Banyak pengamat energi menilai, PLTN sangat ekonomis, kirakira
sama dengan harga PLTU batu bara tanpa pengolahan limbah.
Sebenarnya, ada lima tipe PLTN yang banyak digunakan negara-negara
maju saat ini. Dua tipe Boilling Water Reactor (BWR) dan Pressurized
Water Reactor (PWR) dari Amerika. Kedua tipe, BHWR atau PHWR
dengan pendingin air berat yang dikenal dengan tipe CANDU dari
Canada, serta satu tipe dengan pendingin gas yang dikembangkan di
Amerika dan Inggris.
Pemerintah Indonesia pun akhirnya menyusun rencana pemanfaatan
teknologi nuklir untuk pembangkit listrik. Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (Bapeten), bisa dibilang, instansi yang paling bertanggung jawab
terhadap ’aturan main’ pembangunan PLTN di Indonesia. Sebagai
insitusi bidang pengawasan, Bapeten diberi mandat membuat peraturan
termasuk memberikan izin dan melakukan inspeksi bagi para pengguna
teknologi nuklir di Indonesia. Ada tiga prinsip utama yang menjadi
landasan instansi yang baru dibentuk pada 1998 ini, yaitu keselamatan
(safety), keamanan (security), dan kedamaian (safeguards) .
Acuan dasar pengembangan nuklir di Indonesia, yaitu UU No.10/1997
tentang Ketenaganukliran. Dan sekitar Desember 2006 diterbitkan
Peraturan Pemerintah No.43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir yang
merupakan hasil rembug 15 departemen terkait, termasuk Bapeten.
Dari sisi teknis tenaga nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan)
bahkan sudah bersusah payah mencari lokasi yang dinilai tepat untuk
dibangun PLTN. Dari sekitar 14 tapak yang ditelusuri di seluruh wilayah
Indonesia, akhirnya ditentukan sekitar lima lokasi yang dinilai layak
untuk dibangun PLTN. Namun, kemudian ditentukan satu wilayah yang
paling layak dibangun, yaitu di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara.
Menurut Ferhat Aziz, Kepala Biro Kerjasama Hukum dan Humas Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan) sedikitnya 15 faktor dinilai untuk
kelayakan tapak PLTN di Muria tersebut, lima diantaranya berkaitan
dengan faktor keselamatan pembangunan. ''Boleh dibilang, penyiapan
lokasi ini sebagai insentif pembangunan PLTN tahap awal dari Batan,''
ujarnya.
Untuk Indonesia, Batan merekomendasikan pengembangan PLTN jenis
PWR (pressurized water reactor) atau 'reaktor air tekan'. PWR
menggunakan dua sistem pendingin, primer dan sekunder, berbeda
dengan jenis BWR (boiling water reactor) yang hanya mengggunakan
satu sistem pendingin. ''PWR paling banyak digunakan negara-negara
di dunia, seperti Amerika Serikat, Korea, Jepang dan negara-negara di
Eropa,'' ujarnya.
Namun hal itu belum cukup memuluskan jalan pengembangan tenaga
nuklir untuk pembangkit daya. Menurut Dr Ir As Natio Lasman, Deputi
Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten, setelah dikeluarkan
peraturan pemerintah, harus ada pula Keppres dan peraturan Kepala
Bapeten.
Salah satu regulasi yang kini tengah ditunggu kalangan bidang nuklir,
yaitu Keppres mengenai Tim Nasional Pembangunan Nuklir. Keppres
tersebut kini tengah digodok di Sekretariat Negara RI, dan menunggu
disahkan Presiden. Tim Nasional yang dibentuk berdasarkan Keppres
tersebut nantinya akan bertugas menyusun organisasi kepemilikan
PLTN. ''Timnas akan menentukan kepemilikan PLTN apakah swasta
murni, atau campuran swasta dan pemerintah. Jika sudah ditetapkan ,
maka investor baru bisa masuk. Namun, jika pemerintah menunda
keluarnya Keppres tersebut maka dapat dipastikan target operasional
PLTN di Indonesia akan tertunda,'' ujarnya.
Tidak hanya itu saja, sejumlah investor sudah ancang-ancang
membangun PLTN di Indonesia. ''Saya tidak bisa menyebutkan nama
perusahaan tertentu, namun berasal dari Korea, Jepang, Perancis,
Amerika Serikat, termasuk Rusia,'' ujar Ferhat.
Sedangkan perusahaan dalam negeri yang dinilai siap membangun
PLTN di Indonesia, yaitu PT Pembangkit Listrik Negara (PLN). “Dari sisi
sumber daya manusia sudah tentu berpengalaman dalam bidang
pembangkit tenaga listrik, tinggal menambah kemampuan di bidang
nuklir. Bisa mengambil dari sekolah atau perguruan tinggi yang
mendalami bidang nuklir,” imbuhnya.
Disaat pemerintah bergiat menyusun perangkat aturan PLTN, sebagian
kalangan masyarakat justru bersikap sebaliknya, yaitu menentang
pengembangan PLTN di Indonesia. Bupati Kudus, HM Tamzil, misalnya,
menolak rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Dia
kabarnya telah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, DPR, dan DPD untuk mengambil kebijakan yang berpihak
pada rakyat, yakni membatalkan rencana pembangunan PLTN di Muria.
Alasannya pembangunan PLTN belum mendapatkan kesepakatan dari
masyarakat. “Sangat tidak arif dan bijaksana jika pemerintah tetap
memaksakan kehendak membangun PLTN, sementara masyarakat di
sekitar lokasi pembangunan PLTN menolaknya.”
Ketidaksetujuan pembangunan PLTN juga dilontarkan Praktisi kelistrikan
yang juga Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), Tri
Mumpuni. “Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana pembangunan
PLTN di Pulau Jawa. Ketergantungan pada negara lain sangat tinggi.
Kenapa kita tidak mengembangkan pembangkit listrik yang bisa
dibangun sendiri, karena masih banyak potensi yang lain seperti panas
bumi dan air,” Kata Mumpuni, yang sejauh ini telah membangun 60
pembangkit listrik tenaga mikro hidro di beberapa daerah.
Dari kalangan LSM pun juga melontarkan komentar yang senada.
Mereka berpendapat jika pembangunan PLTN dianggap merupakan
suatu opsi untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri, maka perlu
dilakukan studi atas aspek kelayakan pembangunan PLTN, yang
mencakup berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi, kelayakan teknis
pilihan lokasi (apakah lokasi termasuk dalam daerah patahan yang
secara geologis rentan terhadap gempa, bahaya gelombang laut atau
tsunami), aspek lingkungan (pencemaran, radiasi nuklir, dan
kemungkinan terjadinya kecelakaan nuklir), aspek sosial budaya dan
psikologis masyarakat, serta aspek pembiayaan dan investasi proyek.
Hasil studi kelayakan nantinya harus secara transparan disampaikan
pada masyarakat.
Penolakan rencana pembangunan PLTN terus menggelinding bak bola
salju. Melihat keadaan seperti ini, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto
berpendapat, jika sampai sekarang terus terjadi penolakan dari
masyarakat, itu berkaitan dengan sosialisasi rencana pembangunan
PLTN belum maksimal. Semestinya sosialisasi menjadi catatan tersendiri
bagi Batan. Sebab, masyarakat khawatir kalau-kalau terjadi efek-efek
dari PLTN yang tidak diinginkan. Untuk itu, Badan Tenaga Atom Nasional
(Batan) diminta memberi penjelasan secara gamblang kepada
masyarakat sekitar calon lokasi PLTN tentang manfaat dan dampak
PLTN.
Menurut kajian Batan tahun 2003, diperoleh gambaran di masa depan
Indonesia menghadapi krisis energi. Apalagi dengan cadangan sumber
daya yang terus menipis diperlukan upaya-upaya serius mengatasinya.
Jika tidak maka Indonesia akan dihadapkan pada krisis energi
berkelanjutan.
Data yang ada menyebutkan cadangan sumber daya minyak bumi di
Indonesia saat ini sekitar 321 miliar barel (1,2% potensi dunia), gas
bumi sekitar 507 TSCF (3,3% potensi dunia), batubara sekitar 50 miliar
ton (3% potensi dunia), panas bumi sekitar 27 ribu MW (40% potensi
dunia), tenaga air sekitar 75 ribu MW (0,02% potensi dunia). Apabila
tingkat produksi tetap seperti tingkat tahun 2002 dan tidak ada
cadangan terbukti yang baru, maka cadangan minyak bumi diperkirakan
akan habis dalam waktu kurang 10 tahun, gas bumi dalam waktu 30
tahun dan batubara dalam waktu 50 tahun. Munculnya PLTN sebagai
solusi akhir mengatasi krisis energi di masa depan perlu menjadi
pertimbangan, tapi munculnya keluhan masyarakat agaknya patut
dicermati kalangan pengambil keputusan.

Nuklir, Energi Ramah Lingkungan

Nuklir, Energi Ramah Lingkungan
Nadhifa Putri - detikcom

Jakarta - Indonesia dinyatakan telah siap menjadi salah satu negara yang mengembangkan teknologi nuklir. Meski terdengar menyeramkan, nuklir bermanfaat bagi manusia, seperti untuk PLTN. Bahkan nuklir juga ramah lingkungan.

“Kalau tidak bermanfaat kenapa pilih nuklir,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo, di kantornya, Puspiptek, Serpong, Tangerang, Kamis (27/12/2007).

Hudi menuturkan, bom atom yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, telah membuat masyarakat takut pada nuklir. Padahal jika dikembangkan, nuklir dapat difungsikan sebagai tenaga listrik yang tidak menghasilkan gas rumah kaca, sehingga mengurangi efek rumah kaca di bumi dan ramah lingkungan.

“Sayangnya teknologi nuklir dikenal masyarakat saat terjadi bom atom Nagasaki dan Hiroshima di Jepang. Kita juga membela lingkungan kok. Nuklir tidak mengeluarkan zat CO2,” tutur dia.

Hudi mengakui nuklir memiliki dampak bagi manusia salah satunya adalah radiasi. Namun, dia memastikan radiasi tidak akan menyebar jika dilakukan penghitungan yang teliti.

“Betul ada radiasi, tapi semua bisa dihitung jumlahnya. Makanya untuk mengembangkan nuklir harus ada jaminan kualitas dan analisis keselamatan,” imbuh Hudi.

Saat ini, pembangkitan tenaga listrik dengan menggunakan sumber energi nuklir terus mengalami perkembangan khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Di Asia pun peningkatan terjadi secara signifikan.

Negara-negara yang termasuk memiliki industri nuklir antara lain Jepang, Perancis, Inggris, India, dan Pakistan.

Sedangkan kegiatan nuklir di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1965 dengan pengoperasian reaktor TRIGA (Training Research and Isotope Production by General Atomic).

Penanganan Serius Pemerintah atas keselamatan pltn yang akan dibangun

PROF KOESMAYANTO KADIMAN
Menteri Negara Riset dan Teknologi

Masalah PLTN jelas sudah menjadi politis.Pertanyaan bukan lagi sekadar kemampuan teknis,melainkan sudah melebar ke ranah ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk menjalankan proyek ini secara proporsional.

Bayangan terhadap korupsi selalu mengintai benak masyarakat. Ketakutan akan PLTN yang selalu digambarkan sebagai monster yang menakutkan,akhirnya mengurangi objektivitas penilaian masyarakat. Pun begitu,inilah realita yang harus dihadapi dan menjadi tantangan pemerintah.PLTN harus dijelaskan kepada masyarakat dalam bahasa sederhana masyarakat.

Bukan dengan bahasa penuh retorika penguasa yang selalu meninggikan potensi dan menafikan kekurangan dan akibat yang bisa timbul. Untuk masalah regulasi,mungkin sudah sewajarnya pemerintah menguatkan bidang yang satu ini. Pemerintah bisa saja menerapkan sistem monopoli untuk pemanfaatan nuklir ini seperti yang dilakukan Prancis dengan perusahaan AREVAnya.

AREVA di sana mengontrol setiap langkah industri nuklir mulai penambangan uranium,pengayaan, pembuatan desain pembangkit, konstruksi pembangkit hingga program daur ulang limbah radioaktif yang membutuhkan penanganan khusus. Tentu saja,monopoli yang dilakukan bukan seperti yang sudahsudah terjadi di Indonesia dengan mengorbankan efisiensi dan kualitas.

Keseriusan pemerintah jika ingin melaksanakan proyek ini tak bisa ditawar-tawar lagi.Proyek dengan risiko setinggi ini harus memperkirakan segala kemungkinan dan dampak yang bisa saja terjadi.Pasalnya,kita sekarang berurusan dengan manusia dan alam.Kedua-duanya dapat diperkirakan namun tak dapat dipastikan. Sebaik apapun prosedur yang diterapkan,tetap saja ada kemungkinan human error.

Kita harus belajar dari Jepang yang menerapkan standar tinggi bagi setiap reaktor nuklirnya. Tiap reaktor di sana didesain dapat menahan gempa berkekuatan 6,5 skala Richter (SR).Bahkan,kejadian gempa di Nigata pada 16 Juli tahun lalu dengan besaran 6,8 SR dapat dilewati hanya dengan sedikit kebocoran yang dapat ditanggulangi sistem pertahanan lapis lima pada reaktor Kashiwazaki-Kariwa.

Untuk menjamin keberlangsungan PLTN yang aman,baik bagi manusia maupun alam,kontrol masyarakat sangat diperlukan.Fungsi kontrol dapat dilakukan dalam bentuk selalu mengawasi pelaksanaan proyek dan selalu menjadi mitra kritis dari pemerintah.Memang dalam pembangunan ini ada beberapa pihak yang diuntungkan secara langsung, khususnya investor dan PLN.

Namun bagaimanapun proyek ini akan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat, dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Mimpi akan listrik murah akan lebih mudah terwujud dengan efisiensi yang dijanjikan PLTN.Tingkat inflasi yang biasanya mengikuti pergerakan TDL (tarif dasar listrik) bisa dikurangi.Kebergantungan pada bahan bakar fosil juga bisa kita kurangi,seperti pengalaman di Prancis,yang 75% kebutuhan listriknya disuplai PLTN.

Bahkan, Prancis mampu mengekspor listrik ke berbagai negara tetangganya. Namun,jangan sampai mimpi indah yang datang dari berbagai angka yang menjanjikan seputar pemanfaatan PLTN menjadi awal malapetaka bagi bangsa ini.Diperlukan keseriusan dan penanganan yang maksimal dari pemerintah untuk menjaga pelaksanaan proyek ini tetap berkesinambungan dan terus berada di jalur yang tepat.

Kesalahan terkecil dalam proyek ini dapat berakibat pada bencana terbesar bagi bangsa ini.Jangan sampai berbagai kekhawatiran terhadap risiko bencana menutupi berbagai keberhasilan pemanfaatan moda energi yang satu ini. (pangeran ahmad nurdin/m azhar)

Teknologi dan Kebijakan untuk Masa Depan Tenaga Nuklir

Hingga saat ini, tidak sedikit pandangan negatif terhadap nuklir. Masyarakat awam akan merasa terkejut dan dihantui ketakutan mendengar kata radioaktif, radiasi.

Hal ini disebabkan kurangnya informasi bagi masyarakat untuk memahami energi nuklir. Mengapa negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) serta negara lain tetap mengoperasikan PLTN? Sebab, mereka sudah lebih maju dan tahu ilmunya. Saya yakin bahwa banyak publik yang takut akan bahaya gempa karena Pulau Kawa ada dalam cincin api (ring of fire).

Mereka membayangkan kalau reaktor meledak, Pulau Jawa akan punah seperti terkena bom atom. Reaktor nuklir tidak bisa disamakan dengan bom atom. Untuk membuat bom atom itu memerlukan ribuan kilo uranium yang diperkaya (enrichment uranium), sedangkan untuk reaktor nuklir masa kini enrichment uranium berkadar rendah, sekitar 2–5%.

AS dan Jepang sebagai negara pengguna nuklir juga bukannya negara aman dari bencana.Namun, semuanya sudah diperhitungkan. Seandainya terjadi bencana, reaktor akan mati secara otomatis. Banyak aktivis antinuklir dan ahli lingkungan lebih menginginkan energi terbarukan.

Pada praktiknya, tidak semudah itu. Sebagai contoh, biodiesel, selain belum layak harga jualnya,juga minyak sawit atau bahan nabati lainnya masih diperlukan sebagai pangan. Dari hasil teleconference di Oregon bulan lalu, untuk menghasilkan tenaga yang sama,energi angin memerlukan sekitar 75 hektare, sedangkan nuklir memerlukan 0,5 hektare.

Kalau diperbandingkan dengan batu bara,hasilnya akan lebih mencengangkan. Setiap tahunnya pembangkit listrik berbahan batu bara memerlukan 2,6 juta ton batu bara untuk menghasilkan 1.000 MW. Sebaliknya, PLTN memerlukan bahan bakar hanya sekitar 30 ton/tahun Pergerakan antinuklir juga muncul secara sporadis di AS antara 1950 hingga 1979.Walaupun banyak tentangan, industri nuklir di AS mencapai sukses pada dekade 1965–1975.

Dalam periode itu, 224 PLTN dipesan oleh industri. Hingga 1979, berdasarkan survei, rata-rata 25–30% menentang PLTN. Setelah kasus Three Mile Island pada 28 Maret 1979, kelompok antinuklir kembali bangkit. Musibah Chernobyl pada 1986 di Ukraina juga membuat Amerika memutuskan untuk mengumpulkan data kesehatan dan lingkungan terhadap risiko pembangkit listrik bertenaga fosil sebagai pembanding terhadap tenaga nuklir untuk melihat mana yang lebih besar risikonya.

Namun, reaktor generasi pertama seperti yang dipakai di Chernobyl saat ini sudah tidak ada. Desain dan teknologi sudah dikembangkan berdasarkan pengalaman, jadi masyarakat tidak perlu takut dan dihantui ketakutan. Dalam teknik nuklir dan radiasi, untuk memproteksi keselamatan manusia dan lingkungan sudah ada perhitungannya, yakniberdasarkan asas yang disebut as low as reasonably achievable (ALARA).

Salah satu pedoman adalah menggunakan aturan National Council on Radiation Protection (NCRP) dan International Commission on Radiological Protection (ICRP) untuk menentukan jenis radioaktif dan jumlah dosis minimum yang bisa diterima organ tubuh. Skenario terjadinya kecelakaan dan penyebaran atau perpindahan radioaktif juga bisa diprakirakan dengan cara simulasi menggunakan seperangkat peranti lunak.

Regulasi

Saya percaya, kita bukan negara terbelakang, kita bangsa yang besar dan punya banyak ilmuwan dan teknokrat yang bisa memiliki PLTN seperti halnya negara lain. Syaratnya adalah adanya stabilitas politik, ekonomi, dan kejujuran. Seperti halnya di AS, setiap laboratorium nasional, universitas, dan rumah sakit yang menggunakan bahan radioaktif sadar sendiri membuang limbahnya ke tempat yang disediakan.

Kalau ada bahan radioaktif yang tertumpah, mereka tidak diperkenankan keluar dari lab sebelum petugas radiologi datang. Tidak sedikit reaktor di AS yang dicabut izinnya karena tidak mematuhi aturan dan tidak layak operasi sebelum ada inspeksi atau perbaikan. Hal ini janganlah dijadikan ajang demo antinuklir yang kurang mendukung keberadaan PLTN dan mereka menganggap membahayakan atau merusak.

Tapi, dari sini kita harus menelaah bahwa komisi nuklir di sini tidak dipengaruhi siapa pun dalam mengambil tindakan. Dalam pendirian PLTN,pemerintah juga bisa mengacu pada pengalaman negara negara maju untuk membuat aturan pernukliran (nuclear rule and regulation). Sepertinya halnya di AS,PLTN di sana harus tunduk pada badan yang disebut Nuclear Regulatory Commission (USNRC) dan status penggajian mungkin harus setara DPR atau menteri.

Sebagai pemegang kebijakan nuklir di AS staf NRC bisa bergaji di atas USD120.000 per tahun. Sebelum mendirikan PLTN, pemerintah juga harus sudah memikirkan biaya penutupan PLTN (decommissioning) yang tinggi. Biaya decommissioning bergantung pada sejumlah faktor dan lokasi, terutama jenis reaktor yang digunakan dan lokasi geografis.

Saat ini biaya rata-rata decommissioning sekitar 325 juta USD dan biaya ini harus dipikul industri nuklir tersebut. AS sendiri pada tahun fiskal 2001 mempunyai aset sekitar USD22,5 miliar untuk mengantisipasi biaya decommissioning mendatang yang bisa menelan sekitar USD40 miliar untuk semua PLTN yang ada di AS. Selain itu, juga biaya asuransi untuk menjamin kalau terjadi kecelakaan.

Saya yakin bangsa kita bisa menggarapnya,asalkanfaktor korupsi dihilangkan dan keimanan serta kejujuran ditingkatkan demi majunya generasi bangsa kita di masa mendatang. Kita masih ada waktu untuk semua ini dan kemajuan sudah mulai terlihat dengan kepemimpinan saat ini,menteri sekalipun bisa dibui kalau memang bersalah. (*)

Supriyadi Sadi
Peneliti Fisika Nuklir dan Radiasi Terhadap Kesehatan di Oregon State University.

Energi Nuklir adalah Anugerah Tuhan

Kusmayanto Kadiman Menristek
MENRISTEK Prof.Koesmayanto Kadiman menegaskan keyakinannya akan kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan energi nuklir di PLTN.

Berbagai pandangan miring tentang nuklir dianggapnya sebagai suatu bentuk ketakutan atas sesuatu yang tidak diketahui.Nuklir memiliki potensi yang sangat besar untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis energi

Apakah energi nuklir memang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia?

Jelas bisa.Nuklir selayaknya dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Energi nuklir adalah anugerah Tuhan yang luar biasa,yang harus kita syukuri keberadaannya.Energi nuklir sudah memiliki peran vital dalam memasok listrik dunia dan merupakan sumber listrik utama pada sejumlah negara.Tercatat,439 PLTN beroperasi di 32 negara.

Sementara pemanfaatan limbah radioaktif dari PLTNdan penggunaan radioisotop dalam pertanian,industri, riset dan kedokteran. Energi nuklir lebih menguntungkan ditinjau dari segi lingkungan,karena tidak menghasilkan unsur berbahaya, seperti logam berat (Cd,PB,As,Hg,V),SO2,Nox, dan VHC,dan dalam hal ini PLTNdapat membantu mengurangi hujan asam dan pembatasan emisi gas rumah kaca.

Sejauh mana bahaya pemanfaatan energi nuklir?

Tidak ada teknologi yang seratus persen aman.Selama ini,sudah banyak negara– bukan hanya yang berstatus maju/new industrializing countries,melainkan juga negara berkembang seperti Pakistan–yang sudah menikmati teknologi PLTNdan aman-aman saja. Sekitar 17% listrik di dunia berasal dari energi nuklir.

Negara yang paling banyak menggunakan listrik nuklir adalah AS dengan 103 PLTN dan menyumbang 20% listrik di sana.Sementara secara persentase listrik,negara yang paling banyak memanfaatkan nuklir adalah Prancis yang dengan 59 PLTN menyumbang 75% listrik domestik, bahkan diekspor ke negara lain.

Di Asia,Korea Selatan adalah negara dengan persentase listrik nuklir tertinggi, yaitu 40% dari 20 PLTN. Kemajuan teknologi,pengetatan peraturan,dan pengawasan telah membuat nuklir menjadi semakin aman.Risiko terhadap manusia dan lingkungan menjadi jauh lebih kecil dibanding risiko industri yang lain.

Bagaimana kesiapan teknologi Indonesia untuk mengembangkan PLTN?

Indonesia saat ini memiliki tiga reaktor riset.Pengoperasian dan perawatan ketiga reaktor itu memberikan pengalaman berharga bagi kita guna menuju ke era listrik nuklir. Perlu diketahui,pengoperasian reaktor riset jauh lebih sulit dan rumit dibandingkan PLTN. Adapun desain suatu PLTN yang dikembangkan di Indonesia berpedoman pada filosofi ”Defense in Depth”(pertahanan berlapis) untuk keselamatan yang mampu mencegah insiden yang mungkin dapat menjalar menjadi kecelakaan.

Semuanya serbaotomatis. Dalam bidang limbah, Batan memiliki unit yang mempelajari dan melakukan pengelolaan limbah nuklir. Unit pengelolaan limbah nuklir Batan di Serpong menampung dan mengolah semua limbah nuklir yang berasal dari industri di seluruh Indonesia.Dengan pengalaman ini,pengelolaan limbah PLTNnantinya tidak menjadi masalah bagi SDMkita.

Bagaimana kesiapan SDM Indonesia di bidang ini?

Selain pengalaman SDM yang sudah kita miliki,saat ini masih ada cukup waktu untuk meningkatkan penguasaan teknologi nuklir yang lebih modern,baik untuk pengoperasian, penyiapan bahan bakar maupun pengelolaan limbahnya. SDMkita sudah terlatih dalam perawatan komponen reaktor penelitian nuklir.

Saat ini Batan memiliki pusdiklat yang bersertifikasi dan punya Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN) yang siap mencetak ilmuwan dan teknolog nuklir masa depan. Selain itu berbagai perguruan tinggi seperti UI,UGM,dan ITBmemiliki program pengajaran yang terkait pemanfaatan Iptek nuklir.

Apakah PLTNini bisa menjadi jalan keluar krisis energi Indonesia?

Kita tentu mengharapkan nuklir bisa berperan dalam membantu mengatasi krisis energi nasional.PLTN diperlukan untuk mendukung terwujudnya keamanan pasokan nasional secara berkelanjutan energi (energy security of supply). PLTNdinilai secara kompetitif terhadap PLTBatu bara, di mana PLNsendiri telah membuat studi pada 2005,yang berasumsi pertumbuhan listrik 7% per tahun.

Di studi tersebut, penggunaan BBMdan gas tidak dipertimbangkan karena alasan yang sudah jelas,ketersediaan sumber daya.PLTNdapat menghasilkan energi listrik kapasitas tinggi pada lahan yang luasnya terbatas,dan operasionalnya tidak tergantung pada fluktuasi harga BBMdi dunia.

Jadi,keunggulan nuklir sudah jelas.Selain dapat membantu mengurangi laju pemanasan global karena PLTNramah lingkungan tanpa gas rumah kaca dan gas buang berbahaya lainnya,ia juga aman dan ekonomis.

Bagaimana pandangan dunia internasional terhadap upaya pengembangan energi nuklir Indonesia?

Perlu kita ingat,Indonesia punya hak utuh untuk mengelola kepentingan domestiknya sendiri.Di samping itu,Indonesia mempunyai sikap bebas dan aktif dalam melakukan diplomasi internasional.Patut dicatat,dalam memenuhi kebutuhan mendapat dukungan negara-negara di dunia, prestasi diplomasi putra-putri bangsa sudah sangat baik. Sejauh ini kita mendapatkan dukungan internasional yang kuat.

Sebagai anggota BadanTenaga Atom Internasional (IAEA),kita mendapatkan bantuan teknis yang cukup besar.Selain itu,ada bantuan bilateral maupun regional seperti dari Amerika Serikat, Jepang,dan Korea Selatan. Satu lagi prestasi internasional kita di bidang PLTN, yaitu pada 8th ASEAN Science and Technology Week di Filipina (2008),Indonesia telah ditunjuk menjadi focal point (negara penggerak) untuk masalah keselamatan dan keamanan nuklir di wilayah Asia Tenggara.(*)

Energi Terbarukan Lebih Merusak Lingkungan Dibandingkan Energi Nuklir

Terbarukan tidak berarti selalu hijau. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Jesse Ausubel di Rockefeller University - New York. Dalam tulisannya di Inderscience's International Journal of Nuclear Governance, Economy and Ecology, dia menjelaskan bahwa dengan membangun pembangkit listrik tenaga angin, membendung sungai, dan menanam pepohonan untuk biomass, semuanya dalam kapasitas dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi secara global, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Ausubel juga menganalisa bahwa banyaknya energi yang bersumber dari energi terbarukan untuk menghasilkan beberapa watt daya listrik, akan menggunakan lahan per 1 meter persegi. Dia juga membandingkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh energi terbarukan dengan kebutuhan lahan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. 'Energi nuklir adalah ramah lingkungan. Pertimbangkan dengan daya listrik yang dihasilkan dari lahan seluas 1 meter persegi, nuklir mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki energi terbarukan', ujarnya.

Menurutnya, energi terbarukan tidak mempunyai keuntungan dari skala ekonomis. Semakin besar daya listrik yang dihasilkan, maka semakin luas pula lahan yang dibutuhkan.

Dia juga mencontohkan secara hipotesis, menggenangi seluruh propinsi Ontario di Kanada, yang kurang lebih seluas 900.000 km persegi, dengan 680.000 milyar liter air hujan, dan kemudian menyimpannya dalam bendungan setinggi 60 meter, hanya akan menghasilkan 80% dari total daya listrik yang dihasilkan oleh 25 pembangkit listrik di Kanada.

Energi biomassa juga sangat tidak efisien dan bersifat merusak lingkungan.

Untuk menghasilkan listrik sebesar yang dihasilkan oleh sebuah PLTN, akan membutuhkan lahan seluas 2500 km persegi. 'Peningkatan pemakaian bahan bakar biomassa dalam segala bentuk adalah perbuatan kriminal', ungkapnya. 'Manusia seharusnya menyisakan lahan untuk kepentingan alam. Setiap mobil akan membutuhkan kurang lebih 1-2 hektar'. Berpindah topik ke masalah energi angin, Ausubel menyatakan meskipun lahan yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik tenaga angin 3-10 kali lebih kecil dibandingkan dengan lahan yang dibutuhkan untuk biomassa, tetapi dibutuhkan kurang lebih 770 km persegi untuk menghasilkan energi setara dengan PLTN berkapasitas 1.000 Megawatt electric (MWe) dengan catatan kecepatan angin dan arah angin tetap.

100 meter persegi daerah yang berangin, seperti apartemen di Manhattan, hanya cukup untuk melistriki satu atau dua lampu, tetapi tidak cukup untuk menyalakan komputer, mesin cuci, oven microwave dan TV plasma. Energi surya juga tidak luput dari kritikannya. PLTS akan menutupi lahan seluas lebih dari 150 km persegi untuk menyimpan dan menghasilkan listrik setara dengan PLTN berkapasitas 1.000 MWe.

Menurutnya, setiap bentuk energi terbarukan membutuhkan infrastruktur dan material 10 kali bahkan lebih per kilowatt, seperti beton, baja, dan jalan akses jika dibandingkan dengan gas alam atau nuklir. Meskipun penambangan uranium membutuhkan beberapa ratus kilometer persegi dan ada pertimbangan untuk tempat penyimpanan limbah, keamanan dan keselamatan, tetapi PLTN meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang jauh lebih kecil. Dari skala ekonomi, PLTN bisa digandakan keluarannya ataupun dikecilkan dari sistem, sama seperti halnya komputer yang berkemampuan besar dengan ukuran yang semakin kecil. 'Energi terbarukan tetap terbarukan, tetapi tidaklah ramah lingkungan', imbuhnya, 'Jika kita ingin mengurangi bangunan-bangunan baru dan pemerkosaan terhadap alam, nuklir energi adalah pilihan yang terbaik'.

Reaktor Nuklir Pra Sejarah

Telah ditemukan reaktor nuklir tertua yang pernah dibuat di dunia, yang telah ada sejak 2.000.000.000 tahun yang lalu (jauh sebelum era jurassic)

Reaktor Nuklir Pra Sejarah

Pada tahun 1972, seorang ahli fisika Perancis, Francis Perrin menyatakan sebuah laporan yang mengejutkan, bahwa telah ditemukan reaktor nuklir tertua yang pernah dibuat di dunia, yang telah ada sejak 2.000.000.000 tahun yang lalu (jauh sebelum era jurassic) dan mampu dioperasionalkan selama beberapa ratus ribu tahun kemudian, dengan penggunaan daya rendah. Keseluruhan yang ditemukan ada 15 reaktor pada 3 deposit Uranium di area pertambangan Oklo, Republik Gabon. dan lalu dikenal sebagai fosil Reaktor-reaktor Oklo.

Tanggal 2 Juni 1972, petugas analisis di Pierrelatte - Nuclear Fuel Processing Plant, Perancis (yang mengimpor kebutuhan Uraniumnya dari Gabon) pada mulanya hanya melakukan pekerjaan rutinnya untuk memeriksa massa beberapa contoh Uranium yang akan digunakan tersebut dengan Spektrometer. Uranium yang akan diproses, seperti biasa adalah bermassa 235U dengan nilai rasionya selalu adalah 0,00720, namun pada contoh yang diperiksa ternyata mempunyai rasio 0,00717. Walaupun perbedaan yang ditemukan itu relatif kecil namun membuat para ahli dari Perancis lalu berdatangan langsung ke pertambangan Oklo dan di sana justru menemukan Uranium dengan rasio yang jauh lebih rendah lagi, mencapai 0,00440. Perbedaan rasio yang lebih rendah ini hanya akan terjadi jika 235U sebagai bahan bakar telah pernah digunakan untuk proses reaksi nuklir. Bahkan di lokasi yang sama juga ditemukan produk keluaran proses reaksi nuklir, yaitu Neodymium, sama dengan yang dihasilkan oleh reaktor nuklir masa kini.

Rasa was-was hilang setelah berkunjung ke reaktor nuklir Serpong

Serpong - Gambaran mengerikan tentang nuklir yang ada dibenak rombongan GP Anshor akhirnya terjawab sudah. Selama ini nuklir dianggap suatu yang membahayakan, misalnya bom yang dapat meledak dengan dahsyat ataupun bahaya radiasi yang merusak lingkungan, ternyata kebalikannya. Anggapan-anggapan tersebut perlahan terhapus setelah mereka datang mengunjungi instalasi nuklir BATAN, RSG-GAS, pengelolaan limbah radioaktif, sekaligus pengolahan bahan bakar di Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang.

Kedatangan GP Anshor dan Ketua Umumnya Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) ke BATAN, Selasa (21/8) sebagai tindak lanjut dari diskusi “Urgensi Nuklir” yang digelar oleh GP Anshor sebulan yang lalu. Di samping untuk melihat secara langsung kegiatan litbangyasa iptek nuklir dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan manusia, juga untuk mengetahui reaktor nuklir dan sumber energi jangka panjang serta pengelolaan limbahnya.

Rombongan diterima oleh kepala BATAN Dr. Hudi Hastowo, Deputi Bidang Pengembangan Energi dan Teknologi Nuklir Ir Adiwardoyo, dan Deputi Bidang Pengembangan Teknologi Daur Bahan Nuklir dan Rekayasa Dr. Karyono HS, serta Deputi Bidang Pendayagunaan Hasil Litbang dan Pemasyarakatan Iptek Nuklir Prof. Dr. Aang Hanafiah Ws. Mereka diajak untuk melihat pengoperasian reaktor GA Siwabessy.

Sesuai aturan yang berlaku sebelum masuk ruang reaktor dilakukan pemeriksaan radiasi yang ada di dalam tubuh menggunakan detektor radiasi, setelah selesai berkunjung diperiksa kembali, ternyata radiasinya tidak bertambah. Hal ini, untuk mengetahui apakah ada radiasi yang masuk ke dalam tubuh saat berkunjung.

Dalam kesempatan tersebut pihak BATAN memaparkan pemanfaatan iptek nuklir di segala bidang, seperti di bidang pertanian, peternakan, kesehatan/kedokteran, industri, lingkungan termasuk bidang energi. Dijelaskan pula kondisi penelitian yang dilakukan saat ini, yaitu apa yang sudah, sedang, dan yang akan dilakukan BATAN. Hasil diskusi pada pertemuan tersebut GP Anshor menyarankan agar BATAN lebih meningkatkan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat.

Menanggapi pertanyaan GP Anshor tentang pengembangan energi Iran, pihak BATAN menjawab bahwa saat ini pemerintah Iran berencana mengembangkan teknologi pengayaan bahan bakar nuklir. sumber : energiportal

Wednesday, May 14, 2008

Belajar dari Kecelakaan PLTN Chernobyl, April 1986

Belajar dari Kecelakaan PLTN Chernobyl, April 1986

Oleh: Ma'rufin


Kecelakaan nuklir Chernobyl itu sejajar dengan kasus
lumpur panas sumur Banjar Panji-1 di Porong Sidoarjo.
Yakni sama2 berangkat dari tujuan baik (pada Chernobyl
berpangkal dari eksperimen pembangkitan daya darurat,
pada Banjar Panji-1 untuk mencari migas), namun
dilaksanakan tanpa mematuhi prosedur standar (pada
Chernobyl semua prosedur standar keamanan operasi
reaktor dilanggar, pada Banjar Panji-1 ngebornya
ugal2an dan ngeyel). Akhirnya terjadilah bencana.
Andaikata dua operator reaktor unit 4 PLTN Chernobyl
tidak nekat melanjutkan eksperimennya pada 26 April
1986 lepas tengah malam, barangkali tragedi takkan
pernah terjadi. Namun tragedi itu juga membuka mata
dunia akan persoalan cacat desain reaktor dan
manajemen pembangkit yang "ajaib" di eks-Uni Soviet.

Sebelum tragedi April 1986 PLTN Chernobyl hanyalah
kompleks pembangkit tak terlalu dikenal di Ukraina,
bahkan juga di kalangan petugas pemadam kebakaran
setempat (yang akhirnya justru menjadi korban
pertamanya). PLTN ini berlokasi di koordinat 51,3872
LU 30,1114 BT, berdekatan dengan perbatasan Belarus.
Terdapat 4 unit reaktor : reaktor unit 1 mulai
beroperasi pada 1977, reaktor unit 2 pada 1978,
reaktor unit 3 pada 1981 dan reaktor unit 4 pada 1983.
Keseluruhan unit menghasilkan daya 4.000 MWe yang
menyuplai 10 % kebutuhan listrik Ukraina.

PLTN ini memakai reaktor RBMK-1000, yakni reaktor air
mendidih (boiling water reactor/BWR) berdaya termal
3.200 MWt dengan moderator (bahan pelambat neutron)
dari grafit (karbon). Pendinginnya air biasa, yang
diambilkan dari Sungai Pripyat didekatnya dan
didestilasi dulu, untuk kemudian dialirkan secara
vertikal dengan inlet dibawah dan dididihkan di dalam
reaktor untuk memproduksi uap bertekanan tinggi yang
memutar turbogenerator pembangkit listrik. Grafit
dipilih sebagai moderator karena murah dan tersedia
melimpah di Siberia. Untuk mengendalikan reaktor
digunakan batang kendali dari batang boron karbida
berujung grafit. Di antara ujung grafit dan batang
boron karbida terdapat ruang kosong sepanjang 1 m yang
bakal terisi air pendingin ketika dimasukkan ke dalam
reaktor. Ada dua tipe batang kendali : manual dan
otomatis. Sebagai bahan bakar digunakan Uranium
diperkaya (kadar U-235 3,8 %) sejumlah 220 ton.
Konsekuensinya ukuran reaktor RBMK-1000 memang besar.

Reaktor RBMK-1000 unggul dalam efisiensi (34 %,
bandingkan dengan reaktor2 tipe tekan/pressurized
reactor yang berkisar 29 - 31 %) dan penggantian bahan
bakar saat tetap menyala. Reaktor2 tipe lainnya
(kecuali PHWR-CANDU yang dipasarkan Canada) harus
dimatikan dahulu untuk mengganti bahan bakarnya. Meski
begitu dalam prosedur pengoperasiannya, selama 1 tahun
penuh reaktor hanya dijalankan 9 bulan saja dengan 3
bulan sisanya untuk perbaikan dan perawatan rutin,
termasuk penggantian bahan bakar.

Namun keunggulan2 ini tidak seberapa dibandingkan
dengan kelemahan2nya. Sebagai reaktor air mendidih
bermoderator grafit, RBMK-1000 memiliki "problem
gelembung", kondisi dimana adanya gelembung2 dalam
pendingin saat proses pembentukan uap bisa mengacaukan
pengendalian reaktor, karena gelembung2 itu
meningkatkan jumlah neutron lambat. Kondisi ini sangat
dirasakan RBMK-1000 ketika berada dalam daya rendah,
baik ketika dalam proses dinyalakan (start-up) maupun
dimatikan (shut-down).

Kelemahan lain ada pada batang kendalinya. Grafit dan
ruang kosong berisi air di batang kendali
mengakibatkan peningkatan daya temporal di detik2
pertama saat batang kendali masuk ke reaktor, karena
sifat grafit dan air pendingin yang memoderasi
neutron. Bila terjadi kondisi batang kendali gagal
masuk sepenuhnya karena macet (entah kejepit atau apa)
sehingga bagian boron karbidanya tidak bisa masuk,
maka reaktor tidak bisa mati, justru dayanya malah
melambung terus.

Aliran pendingin juga menjadi salah satu titik lemah.
Dengan model aliran vertikal dan inletnya dari bawah,
maka terdapat suhu pendingin di dalam reaktor jadi
takhomogen, dimana di bagian atas lebih besar
dibanding bagian bawah. Kondisi ini bisa berbahaya
jika terjadi penguapan total pada bagian atas sehingga
bahan bakar disana tak terdinginkan sepenuhnya. Selain
bisa meningkatkan daya secara mendadak, kondisi ini
juga beresiko pada melelehnya bahan bakar. Pendinginan
vertikal juga memaksa pompa pendingin untuk terus
menerus bekerja meski daya reaktor sudah sangat rendah
sehingga tidak sanggup lagi membangkitkan listrik yang
cukup.

Dan akhirnya, sebagai reaktor berukuran besar,
RBMK-1000 hanya dilindungi oleh satu lapis dinding
beton tipis guna menghemat biaya. Tak ada sistem
pelindung berganda sebanyak lima lapis sebagaimana
yang distandarkan pada reaktor2 tipe lainnya. So,
reaktor yang secara desain sudah cacat ini tidak
mempunyai pelindung yang layak, sehingga jika terjadi
kecelakaan peluang terlepasnya radioisotop ke
lingkungan cukup besar dibanding reaktor2 tipe lain.

Kompleks PLTN Chernobyl dilayani oleh manajemen
"ajaib" yang tidak berpengalaman sama sekali dalam
mengoperasikan reaktor bertenaga besar. V.P.
Bryukhanov, direktur, hanya berpengalaman di PLTU
tanpa pernah sekalipun ke PLTN. Nikolai Fomin,
insinyur kepala, juga lama bekerja di lingkungan PLTU.
Hanya Anatoliy Dyatlov, wakil insinyur kepala, yang
pernah bekerja dengan reaktor itupun hanya pada
reaktor berdaya rendah.

Diduga kuat pemilihan manajemen tidak didasarkan pada
kepakaran dan kemampuannya dalam teknologi nuklir,
namun lebih pada loyalitasnya terhadap Partai Komunis
Uni Soviet. Manajemen juga tidak pernah diberitahu
otoritas ketenaganukliran Uni Soviet tentang sifat
khas RBMK-1000 dan prosedur operasi daruratnya ketika
berada dalam daya rendah. Singkatnya, manajemen 'buta'
terhadap titik2 lemah RBMK-1000.

Kombinasi cacat desain dan manajemen "ajaib" inilah
yang berpuncak pada tragedi 26 April 1986.

++++++++++++ ++++
Ekskursi Nuklir
++++++++++++ ++++

Salah satu masalah yang menggayuti manajemen adalah
bagaimana menjaga pompa pendingin tetap bekerja meski
aliran listrik putus. Reaktor RBMK-1000 membutuhkan
aliran pendingin terus menerus karena sifatnya
vertikal. Sementara jika terjadi kerusakan sistim
pembangkit listrik, aliran listrik ke pompa pendingin
menghilang. Memang tiap unit reaktor telah dilengkapi
dengan sepasang generator diesel otomatis, namun baru
bisa menyuplai aliran listrik 40 detik setelah aliran
listrik utama putus. Kondisi ini bisa menyebabkan
perlambatan aliran pendingin, dan berpotensi
menimbulkan kehilangan aliran pendingin (LOHSA : lost
of heat sink accident).

Manajemen tidak menghendaki hal itu terjadi terutama
setelah kasus LOCA (lost of coolant accident,
setingkat lebih parah dibanding LOHSA) yang sampai
melelehkan sebagian reaktor unit 2 PLTN Three Mile
Islands
, Pennsylvania
(AS), 28 Maret 1979. Untuk itu
dicoba memanfaatkan putaran sisa turbogenerator guna
pembangkitan daya darurat untuk menggerakkan pompa
pendingin selama minimum 40 detik. Eksperimen sejenis
pernah sukses dilakukan pada 1983 di reaktor unit 1
tanpa masalah apapun dengan mematuhi semua prosedur
standar, meski hasilnya negatif : turbogenerator tak
sanggup memasok daya mencukupi.

Setelah dilakukan pengembangan2 tambahan pada
turbogenerator, dirasakan perlu adanya eksperimen
ulang. Pilihan jatuh pada reaktor unit 4 dengan
setting waktu pada Jumat 25 April 1986, mengingat
reaktor ini memang hendak dimatikan guna menjalani
perawatan dan perbaikan rutin setelah menyala selama
lebih dari setahun penuh.

Eksperimen sudah siap dijalankan pada tengah hari 25
April. Sebagai awalnya sistem pendingin darurat (ECCS
: emergency core coolant system) dimatikan, meski
dalam prosedur operasi standar hal ini sama sekali
tidak diperbolehkan. Namun mendadak otoritas
kelistrikan Kiev meminta manajemen PLTN Chernobyl
menjaga pasokan listriknya ke jaringan sampe jam 11
malam untuk mengantisipasi lonjakan penggunaan daya.
Manajemen menyetujui hal itu sehingga daya reaktor
yang sudah terlanjur diturunkan ke 1.600 MWt tidak
direduksi lagi. Selama 12 jam kemudian reaktor
beroperasi dengan output 50 % dari normal dan tanpa
ECCS.

Eksperimen dilanjutkan kembali pasca jam 23:00
setempat, kali ini oleh dua operator malam yang
kedua-duanya berlatarbelakang teknik listrik dan tak
satupun yang sebelumnya pernah bekerja di lingkungan
reaktor. Daya reaktor diturunkan ke 700 - 1.000 MWt
dengan memasukkan batang2 kendali otomatis, namun
rupanya dua kru tak terlatih ini tak menyadari
penurunan dayanya terlalu cepat. Pada kondisi ini
produksi radioisotop Xenon-135 (salah satu produk
samping reaksi fissi) jadi berlebih, padahal
radioisotop ini dikenal sebagai "racun reaktor" karena
menyerap neutron lambat dalam jumlah besar. Kontan
daya reaktor anjlok ke 30 MWt. Operator tak menyadari
adanya peracunan ini dan menganggap anjloknya daya
lebih karena kegagalan daya, sehingga memutuskan
menaikkan kembali batang kendali otomatis. Tindakan
ini sangat menyalahi aturan, karena pada prosedur
standarnya, begitu daya anjlok maka reaktor harus
segera dimatikan.

Naiknya batang kendali otomatis hanya sanggup
mengangkat daya ke 200 MWt saja, atau sepertiga dari
daya nominal yang dibutuhkan untuk eksperimen. Namun
operator merasa pada daya rendah itupun eksperimen
bisa dilakukan. Maka pada pukul 01:05 setempat,
operator menghidupkan seluruh pompa pendingin cadangan
yang mengirimkan air pendingin berlebihan ke dalam
reaktor, melampaui batas maksimum volume air dalam
reaktor yang diperkenankan. Selanjutnya batang kendali
manual pun diangkat, hal yang lagi2 menyalahi prosedur
operasi standar. Reaktor kini jadi sangat berbahaya
karena tidak lagi memiliki batang kendali. Jika pada
saat itu daya reaktor masih tetap rendah, alias jumlah
neutron lambatnya tetap kecil, itu lebih disebabkan
oleh kombinasi berlebihnya air dan Xenon-135 yang bisa
menggantikan peran batang kendali.

Dalam keadaan demikian operator memutuskan untuk
memulai eksperimen. Pukul 01:23, operator menutup
katup uap ke turbogenerator. Putaran turbogenerator
pun berkurang sehingga pasokan listrik ke pompa
pendingin berkurang dan aliran pendingin jadi
menyusut. Di dalam reaktor kini terbentuk lebih banyak
uap dan celakanya diikuti dengan pembentukan
gelembung2 air. Problem gelembung pun terjadi,
sehingga daya reaktor segera menanjak. Dalam 5 detik
pertama daya reaktor sudah bergerak ke angka 510 MWt.
Pada tahap ini Xenon-135 mulai menghilang seiring
makin banyaknya jumlah neutron. Sehingga dengan makin
banyaknya air pendingin yang berubah menjadi uap,
menghilangnya Xenon-135 dan dimatikannya ECCS,
pengontrol daya reaktor menjadi tidak ada. Terjadilah
ekskursi nuklir : kenaikan daya teramat cepat secara
eksponensial pada waktu teramat singkat.

Operator yang panik segera menekan tombol SCRAM guna
memasukkan semua batang kendali (baik manual maupun
otomatis) ke dalam reaktor. Namun butuh waktu 20 detik
agar batang kendali bisa masuk sepenuhnya ke dalam
reaktor. Ketika suhu reaktor kian tinggi, gerak batang
kendali pun macet, hanya bagian ujung grafit dan ruang
kosong saja yang sempat masuk. Ini malah makin
meningkatkan intensitas ekskursi nuklir. Dalam 20
detik itu daya reaktor sudah meningkat hingga 30.000
MWt alias sepuluh kali lipat dari daya normalnya.

Peningkatan daya luar biasa menghasilkan penguapan
teramat brutal dimana semua cairan berubah jadi uap.
Ini menghasilkan tekanan teramat besar yang merusak
batang kendali, bahan bakar, grafit dan akhirnya
menjebol atap beton reaktor yang tipis dalam ledakan
uap. Andaikata reaktor dilindungi kubah double
containment Mark-II setebal 2 meter seperti yang
diterapkan pada reaktor2 lainnya, maka ledakan uap ini
tidak akan terjadi. Ledakan uap ini segera disusul
oleh reaksi uap air dengan grafit dan oksigen (dari
udara luar yang masuk lewat lubang) dengan grafit
sehingga timbul ledakan kedua yang tak kalah besarnya.


++++++++++++ ++++++
The China Syndrome
++++++++++++ ++++++

Pasca ledakan, reaksi oksigen dan grafit menyebabkan
kebakaran besar pada reaktor. Inilah penyebab 4 %
radioisotop - setara 9 ton - terloloskan ke
lingkungan. Meski 4 dekade sebelumnya dunia sudah
menyaksikan dahsyatnya bom nuklir Hiroshima dan
Nagasaki, pada 26 April 1986 itulah, untuk pertama
kalinya sebuah reaktor bertenaga besar melepaskan
radioisotopnya ke lingkungan dalam jumlah besar.
Sekitar 5,4 ton radioisotop itu mendarat di Belarus.
Namun sisanya terbang dibawa angin ke barat hingga
menjangkau Kepulauan Inggris.

Paparan radiasi tertinggi berada di gedung reaktor
mencapai 5,6 Roentgen/detik, 202 kali lipat lebih
besar daripada ambang batas dosis mematikan 0,028
Roentgen/detik. Celakanya ledakan menyebabkan
kerusakan dua dosimeter (pengukur radiasi) dengan
limit 1.000 Roentgen/detik. Hanya tersisa dosimeter2
kecil dengan limit 0,001 Roentgen/detik, dan semuanya
"off scale." Karena itu kru reaktor dipimpin Alexander
Akimov menganggap dosis radiasi saat itu paling banter
0,001 Roentgen/detik, mengabaikan tanda2 seperti
potongan grafit, pipa bahan bakar dan batang kendali
yang berceceran di sekitar gedung reaktor. Sehingga
mereka memutuskan bertahan dan terus memompakan air ke
gedung reaktor.

Bantuan segera datang dari brigade pemadam kebakaran
Chernobyl, dipimpin Vladimir Pravnik, yang tak
diberitahu sama sekali bahwa yang dihadapi adalah
reaktor RBMK-1000 yang telah bolong. Kerja keras
mereka bersama kru reaktor berhasil memadamkan api di
atas gedung reaktor dan gedung turbin pada jam 05:00.
Namun dalam tiga minggu kemudian, sebagian besar kru
reaktor dan pemadam ini telah meregang nyawa..

Pada senja 26 April, Kremlin membentuk komite
penyelidik dan memerintahkan Valeri Legasov dari
otoritas ketenaganukliran Uni Sovet ke Chernobyl. Ia
menjumpai 2 orang telah tewas dan 52 dirawat di rumah
sakit, dengan gejala2 nyata akibat paparan radiasi
berlebihan. Dosimeternya juga menunjukkan tingkat
paparan radiasi yang sangat tinggi di sejumlah titik.
Pada 27 April 14:00 ia memerintahkan dimulainya
evakuasi penduduk kota Pripyat dan sekitarnya. Agar
tidak timbul kepanikan, detil bencana tidak
diberitahukan kepada penduduk, dan agar beban tidak
terlalu berat, diberitahukan kepada penduduk bahwa
evakuasi bersifat temporal, hanya untuk 3 hari. Total
penduduk yang dievakuasi sejumlah 336.000 orang.

Kepanikan justru merebak di Swedia, 1.100 km dari
Chernobyl. Pada 27 April itu juga kru PLTN Forsmark
mendeteksi lonjakan paparan radiasi yang spektakuler
di lingkungan mereka. Anehnya dosis paparan radiasi di
luar gedung jauh lebih besar dibanding di dalam
gedung. Setelah konfirmasi ke PLTN2 lain di Swedia
memastikan tidak ada reaktor mereka yang bocor,
kecurigaan diarahkan ke PLTN2 Uni Soviet di kawasan
Barat. Atas desakan Swedia, tak lama kemudian Mikhail
Gorbachev mengumumkan bocornya salah satu reaktor
Soviet. Pernyataan sama juga dikeluarkan Boris Yeltsin
yang sedang mengunjungi Berlin.

Horor Chernobyl belum usai. Meski reaktor RBMK-1000
telah jadi puing, sisa bahan bakar Uranium yang masih
cukup besar (> 200 ton) dan puing2 grafit ternyata
masih sanggup menjalankan reaksi fissi. Meski daya
yang dihasilkan kecil, tiadanya cairan pendingin
membuat grafit terus memanas. Maka kebakaran pun
berlanjut di interior puing. Pada dasar puing, panas
kebakaran bahkan cukup tinggi hingga sanggup membuat
bahan bakar dan beton penyangga reaktor meleleh
membentuk lava. Jika lava ini bisa menembus dasar
bangunan dan tanah dibawahnya hingga mencapai cadangan
air tanah dalam, maka kontak lava dengan air akan
menciptakan erupsi freatoradiatik ("The China
Syndrome"), ledakan uap berkekuatan besar yang sanggup
membongkar tanah diatasnya membentuk kawah. Letusan
ini akan memuntahkan debu terkontaminasi radioisotop
hingga ketinggian 1 km. Jika ini terjadi, area yang
tercemar dipastikan akan jauh lebih besar.

Untuk mencegah erupsi freatoradiatik, otoritas
memutuskan puing reaktor RBMK-1000 harus dimatikan dan
didinginkan. Lewat ratusan sorti penerbangan
helikopter, ke bangunan reaktor dijatuhkan 5.000 ton
bahan penyerap neutron berupa campuran pasir, lempung
dan asam borat. Setelah puing reaktor dipastikan telah
mati dan dingin, sebuah struktur sarkofagus raksasa
dibangun untuk menyelubungi seluruh puing pada
Desember 1986.

Jumlah radioisotop yang dilepaskan 160 kali lipat
lebih besar dibanding bom Hiroshima (9 ton vs 55 kg).
Sampai 2005, IAEA dan WHO mencatat jumlah korban tewas
56 orang (47 kru reaktor dan petugas pemadam kebakaran
serta 9 anak2 penderita kanker tiroid). Dari 6,6 juta
orang yang terpapar radioisotop, diperkirakan 9.000
diantaranya terpapar berat. Hingga 2002 dideteksi
terdapat 4.000 kasus anak penderita kanker tiroid.


Ref :
- Aliq, 1987, Analisis Kecelakaan Reaktor Nuklir
Chernobyl, UGM.
- IAEA, 1996, One Decade After Chernobyl.
- IAEA, 2006, In Focus : Chernobyl.

22 Tahun Tragedi Chernobyl

22 Tahun Tragedi Chernobyl.
Indo Pos, Minggu, 20 April 2008.
Oleh : Goei Tiong Ann Jr, Rohaniawan dan Aktivis Lingkungan.

Seandainya pada 25 April 1986 malam -22 tahun silam- Anatoli Djatlow,
insinyur kepala di reaktor nuklir Chernobyl (Tschernobyl) , tidak
memutuskan untuk segera memulai percobaan yang tertunda, dunia tidak
akan pernah memperingati tragedi nuklir yang konon terbesar di sepanjang
sejarah manusia itu. Tapi, eksperimen dilanjutkan dan menjelang 26
April 1986, terjadi lonjakan suhu yang begitu drastis di dalam reaktor.
Tepat pukul 23:58, sebuah ledakan besar menghancurkan reaktor di blok
keempat pembangkit listrik Chernobyl.

Pagi hari 26 April, 200 ribu manusia dievakuasi dari sekitar reaktor
Chernobyl. Sekitar 600 desa di sekitar Chernobyl dikosongkan. Menurut
standar INES (The International Nuclear Event Scale), tragedi
Chernobyl masuk level ke-7 (level paling atas) yang disebut major accident.
Korban Chernobyl yang meninggal tidak sampai 90 ribu jiwa sebagaimana
dirilis berbagai media. Yang benar, korbannya sekitar 60, dan itu pun tidak
seketika, namun sejak 1986 hingga sekarang. Jumlah korban meninggal
seketika hanya dua jiwa. Namun, dampak radioaktif dan berbagai
penyakit yang ditimbulkan masih berlangsung. Kini sebagian pengungsi Chernobyl
telah kembali ke kampung halaman. Namun, jelas keadaan tidak seperti dulu.

Banyak orang depresi oleh masalah keuangan, fasilitas umum yang buruk, dan merosotnya kualitas hidup. Implikasinya bagi Kita Blow up media soal tragedi Chernobyl memiliki implikasi luas, termasuk di Indonesia. Disadari atau tidak, bangsa kita seperti mengidap “fobia nuklir”. Fobia kian menjadi manakala mengingat tragedi Hirosima dan Nagasaki pada 1945, ditambah ledakan di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di Serpong 10 September 2007 (Jawa Pos 11/11/ 2007).

Tentu saja fobia bukan kondisi yang wajar atau normal. Fobia menunjukkan ada yang tidak sehat. Akibatnya, setiap ada rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), reaksi publik antinuklir pun tidak proporsional lagi, seperti terlihat dari rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria, Jepara. Yang memprihatinkan, akhirnya banyak kalangan yang tidak tahu-menahu tentang nuklir dan kerja PLTN -singkatnya orang yang tidak memiliki kompetensi atau kapabilitas dalam hal nuklir- buru-buru mendesak PLTN jangan pernah dibangun di Indonesia. Apalagi jika menyimak sejarah nuklir, fobia kian menjadi-jadi karena nuklir sering dikaitkan dengan senjata.

Seperti diketahui, ledakan bom nuklir pertama di dunia berlangsung pada 16 Juli 1945 di Gurun Jemez, New Mexiko, AS, berkat kerja Robert Oppenheimer dkk. Ujung semua itu, nuklir dicap buruk dan layak dikutuk. Sisi positif nuklir tidak terlihat ketika prasangka dan ketidaktahuan lebih sering ditonjolkan. Jadi, pendekatan terhadap nuklir di tanah air masih kental dengan nuansa prasangka atau fobia sehingga objektivitas melemah. Pendekatan yang berimbang pun tak tercapai.

Sebenarnya pro dan kontra nuklir adalah hal yang lumrah dan tulisan ini tidak mau terjebak dalam salah satu kubu. Hanya menghabiskan energi. Saya lebih berkepentingan menunjukkan bahwa nuklir memiliki sisi positif dan bisa bermanfaat bagi dunia yang tengah dilanda krisis energi global. Sisi positif nuklir bisa dilihat dari kian berkembangnya riset yang lebih difokuskan pada penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan sipil, seperti penghasilan energi listrik dan panas. Banyak negara lain sudah mencoba, mengapa kita tidak?

Dari tempat saya menulis artikel ini di Roma, saya sehari-hari juga memanfaatkan listrik dari PLTN yang diimpor Italia dari Prancis. Orang awam boleh jadi sudah takut listrik dari PLTN otomatis akan gampang terpapar radioaktif. Padahal, kebocoran radio aktif hanya bisa terjadi
di sekitar reaktor. Jadi, aman-aman saja listrik dari PLTN. Saya hanya mau menggarisbawahi bahwa di banyak negara Eropa, energi nuklir sudah dimanfaatkan untuk kepentingan sehari-hari dan kita tidak perlu panik memanfaatkannya. Memang ada yang antinuklir, tetapi ketika tahu manfaatnya, jumlah yang anti kian menyusut. Apalagi, di tengah santernya isu global warming, PLTN juga punya kelebihan tersendiri dibanding energi konvensional lainnya. Harap diketahui, selama beroperasi, PLTN tidak mengemisikan gas rumah kaca CO2. Bandingkan
dengan energi fosil (seperti minyak tanah) yang menghasilkan banyak karbon. Belum
lagi, harga per barel minyak sudah menyentuh level USD 119 (per 23 April 2008).

PLTN memang bisa dijadikan sumber listrik alternatif mengingat sumber energi konvensional seperti minyak, batu bara, dan gas makin menipis. Bahkan, pemerintah sudah mencabut subsidi listrik untuk pelanggan golongan 6.600 VA dan 2.200 VA (Jawa Pos, 23 April 2008). Harga listrik dari PLTN juga lebih murah.

Semua Punya Risiko

Sebenarnya, terkait risiko, setiap hal selalu ada risikonya. Listrik
yang konvensional seperti kita kenal juga sudah memakan korban, yakni
mereka yang mati kesetrum. Demikian juga PLTN, tentu ada risiko yang harus
diambil. Tidak menyetujui nuklir pun berisiko, misalnya, kita akan
dilanda terus krisis energi seperti yang dialami warga kita di Kalimantan dan
Sumatera. Karena itu, seharusnya rencana pembangunan PLTN yang telah
ditetapkan melalui Perpres No 5/2006 perlu direspons dengan bijak dan
tidak emosional. Apalagi negeri kita memiliki kandungan uranium yang
membuat ngiler negara-negara yang sudah mengembangkan PLTN seperti
AS, Prancis, dan RRT. (***)

Perlu Strategi dan Cara Baru Sosialisasi PLTN

Selama tahun 2007 telah berkembang suatu gerakan anti-nuklir yang
justru muncul di kawasan Semenanjung Muria, yaitu kawasan terpilih
sebagai calon lokasi pembangunan PLTN pertama di Indonesia.
Sebagaimana diketahui Pemerintah telah berketetapan untuk membangun
PLTN sebagai salah satu altermatif untuk memenuhi kebutuhan tenaga
listrik dalam jangka panjang, khususnya di dalam sistem listrik Jawa-
Madura-Bali yang sudah ter-interkoneksi. Hal ini tercermin di dalam
beberapa dokumen yang telah terbit. Pertama adalah "Kebijakan Energi
Nasional" yang dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumberdaya
Mineral pada tahun 2004. Kemudian dokumen Badan Koordinasi Energi
Nasional atau BAKOREN berjudul "Blueprint Pengelolaan Energi Nasional
2005-2025" yang terbit pada tahun 2005. Selanjutnya adalah Peraturan
Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional
2005-2025 yang ditanda-tangani oleh Presiden R.I. pada tanggal 26
Januari 2006.
Bahwasanya "rencana" tersebut bukan saja suatu gagasan yang dicetuskan
oleh Pemerintah yang bertindak bertepuk sebelah tangan, terbukti
dengan adanya produk undang-undang yang diterbitkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, juga dalam tahun 2007 ini, yaitu Undang-undang No.
17 tahun 2007 tentang Perencanaan Jangka Panjang Pembangunan Nasional.
Di situ dengan jelas tercantum adanya niat dari bangsa Indonesia untuk
memanfaatkan energi nuklir sebagai alternatif untuk pembangkitan
listrik, khususnya beroperasinya PLTN pertama antara tahun 2015 dan
2020.
Semua dokumen itu tentunya diterbitkan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang telah dibahas secara tuntas di tingkat Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini Komisi VIII dalam DPR
terdahulu dan Komisi VII DPR yang sekarang. Bahkan beberapa tokoh DPR
dari Komisi VII sudah cukup sering diberitakan membuat pernyataan
mendukung pembangunan PLTN, bahkan juga dikemukakan bahwa kita sudah
tertinggal di bidang ini. Misalnya Ketua Komisi VII Bp. Ir. Agusman
Effendi dan Wakil Ketuanya Bp. Nadjib. (Tetapi ada pula anggota Komisi
VII yang tampaknya menentang gagasan ini, seperti Bp. Ir. Alvin Lie
dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Bp. Sony Keraf.)
Hakekatnya, pembenaran pemanfaatan energi nuklir sebagai salah satu
alternatif adalah berdasarkan kenyataan bahwa: (1) Permintaan akan
tenaga listrik masih tetap tumbuh dengan pesat dan kita dapat
mempersulit diri sendiri apabila tidak memakai jenis energi ini; (2)
Alternatif yang lain tidak akan mencukupi pada saat diperlukan,
seperti misalnya panasbumi yang potensinya di pulau Jawa diperkirakan
masih ada 8000 MW, atau terlalu mahal seperti gasbumi yang harganya
meningkat terus seiring dengan perkembangan harga minyak internasional
(dan gas sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam sektor lain seperti
industri dan rumah-tangga dengan nilai tambah yang lebih besar), atau
energi batubara yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah-
masalah lain seperti pencemaran, logistik (kapal dan pelabuhan) serta
lokasi (di Jawa kian terbatas); (3) Memanfaatkan energi nuklir akan
berarti suatu upaya untuk menekan biaya pembangkitan listrik, serta
tidak kalah pentingnya adalah membuat pemanfaatan sumberdaya alam kita
secara lebih optimal; (4) Sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pun akan
menjadi lebih tangguh dan handal, karena tidak akan tergantung pada
hanya batubara dan gasbumi saja; (5) Kita pun akan meraih keuntungan
karena berpeluang untuk meningkatkan kemampuan kita di bidang
teknologi, khususnya konstruksi dan manufaktur. Keuntungan lain adalah
PLTN tidak mengeluarkan emisi zat arang.

Timbulnya oposisi terhadap pembangunan PLTN tampaknya disebabkan
sindrom NIMBY, atau Not In My Back Yard, atau "jangan di pekarangan
saya". Ini adalah pandangan yang normal yang dapat timbul di kalangan
masyarakat. Di negara industri pun ada pandangan seperti itu. Tetapi
kini sudah berubah: justru di kalangan yang ketempatan PLTN lebih
menyukai dibangun PLTN baru ketimbang jenis energi lain yang dapat
menimbulkan polusi udara.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka kiranya perlu disusun
suatu strategi baru dalam "sosialisasi" PLTN. Mungkin sasaran
sosialisasi janganlah mahasiswa, kaum cerdik pandai dan tokoh-tokoh
masyarakat saja, melainkan perlu diperluas kepada masyarakat awam dan
siswa-siswa SMP dan SMU. Ini mungkin akan lebih sulit, karena konsep-
konsep yang harus dijabarkan bukanlah konsep yang mudah. Juga akan
memakan biaya yang lebih besar, karena sasaran jauh lebih banyak. Akan
tetapi perlu dan harus dimulai dari saat sekarang. Kalau tidak kita
akan jauh tertinggal lagi dibandingkan negara lain, termasuk negara-
negara tetangga kita.

posted by Budi Sudarsono at Sunday, September 02, 2007
sumber: http://feea.blogspot.com/2007/09/perlu-strategi-dan-cara-baru.html

Mengapa Kita Harus Pro-PLTN?

Oleh: Carunia Mulya Firdausy
Deputi Menegristek Bidang Dinamika Masyarakat

Hingar bingar untuk menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) kembali muncul ke permukaan. Inisiatif tersebut kali ini
dilakukan oleh dua puluh delapan orang yang menamakan dirinya sebagai
kelompok akademisi dari berbagai disiplin ilmu dan didukung oleh
sekitar 200 peserta yang hadir di Sekolah Tinggi Filsafat (STF)
Driyarkara, Jakarta. Mereka mendesak pemerintah untuk membatalkan PLTN
dengan empat alasan klasik, yaitu risiko terlalu tinggi, tidak ada
urgensinya, masih banyak sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan, dan ada penolakan dari masyarakat Indonesia. Bahkan yang
lebih provokatif lagi dinyatakan bahwa Konferensi PBB tentang
perubahan iklim yang berlangsung pada Desember di Bali lalu tidak
menetapkan nuklir sebagai energi alternatif untuk mengurangi emisi C02
dan dipandang sebagai sikap beberapa pihak untuk mengegolkan PLTN sama
halnya dengan sikap Amerika untuk ngotot menolak isu nuklir di Iran.

Tentu kalau di media ini mereka diizinkan untuk memublikasikan
pandangannya di atas, maka pandangan masyarakat yang berpikir pro-PLTN
harus pula diberikan tempat di media ini. Dasarnya karena argumentasi
untuk menolak PLTN yang disampaikan di atas cenderung misterius dan
provokatif, jika tidak hendak dikatakan nonempiris. Mengapa?

Argumentasinya

Argumentasinya sebagai berikut. Pertama, PLTN telah mendunia pada saat
ini. Jumlah negara yang telah menggunakan PLTN sebagai energi listrik
terus bertambah lebih dari 30 negara. Kini jumlah PLTN telah mencapai
442 buah dan tidak hanya terbatas pada negara maju saja, melainkan
juga telah dan akan menjadi sumber energi pembangkit listrik utama di
negara Asia (Jepang, Korea Selatan, India, China, Vietnam, dan
Thailand). Khusus untuk Jepang dan Korea Selatan, PLTN telah
berkontribusi masing-masing sebesar lebih dari 30 persen dan 40 persen
dalam pasokan listriknya. Demikian pula dengan India dan China.
Sedangkan Vietnam segera akan menyusul. Mungkin itu sebabnya di negara-
negara tersebut, byar pet listrik nyaris tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, mengapa kita terus saja mengatakan PLTN berisiko terlalu
tinggi di Indonesia, jika di negara sekelas India, China dan Vietnam,
PLTN mendapat tempat yang layak?

Kedua, berbagai literatur yang menjelaskan bahwa nuklir sebagai energi
bersih dan efisien juga telah banyak dipublikasikan. Stern (2007),
OECD (2007), dan Moore (2007), misalnya, berdasarkan hitungan empiris
mendapatkan nuklir sebagai energi bersih dan efisien. Dalam side-event
konferensi PBB tentang Perubahan Iklim yang berlangsung di Bali pada
Desember 2007 lalu, isu dan masalah PLTN juga dibahas, sehingga tidak
benar konferensi tersebut tidak memasukkan nuklir sebagai energi
alternatif yang mampu mengurangi emisi C02.

Demikian pula, fakta telah membuktikan bahwa penggunaan nuklir dalam
pembangkit listrik relatif lebih murah dibandingkan dengan penggunaan
sumber energi nonnuklir (Stern, 2007). Yang mahal dengan pembangunan
PLTN yakni biaya awal (capital costs) pembangunannya. Hal ini karena
dalam pembangunan satu unit PLTN diperhitungkan pula biaya
commissioning, decommissioning dan manajemen limbah. Selain itu,
karena teknologi yang harus dipakai harus aman dari segala bencana
alam sehingga biayanya menjadi relatif mahal. Pembangunan satu reaktor
pun memerlukan waktu yang relatif panjang sekitar 5-8 tahun.

Sedia Payung

Pernyataan bahwa PLTN tidak ada urgensinya harus dielaborasi lebih
lanjut dasar empirik hitungannya. Jika hitungannya berdasarkan kondisi
ekonomi nasional kekinian, memang PLTN belum atau tidak urgen.
Sebaliknya, jika hitungannya berdasarkan kebutuhan ekonomi jangka
menengah dan panjang, mengapa harus memaksa menyatakan bahwa PLTN
tidak urgen. Apalagi, berbagai ketidaktentuan ekonomi dalam penyediaan
sumber energi saat ini dan mendatang tengah berlangsung. Belum lagi
jika kita menyoal tentang dampak lingkungannya yang mengerikan jika
kita bergantung hanya pada energi fosil (batu bara, minyak bumi, dan
gas alam). Mestinya upaya untuk “sedia payung sebelum hujan” dalam
bidang energi yang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Presiden No
5/2006 dan Undang-Undang Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) No
17/2007 patut dihargai.

Ketiga, benar bahwa kita punya banyak sumber energi alternatif ramah
lingkungan di luar nuklir. Tak terbatas pada energi bayu, panas bumi,
air laut, biofuel, biomass, dan matahari. Sampah pun terbukti dapat
digunakan sebagai energi pembangkit listrik. Harus diakui selain
teknologinya mahal, penting dicatat energi nuklir terbatas untuk
memasok listrik dalam skala besar. Selain itu, pengisian energi
tersebut dalam suatu reaktor pembangkit listrik harus dilakukan
berulang-ulang dalam hitungan hari maupun bulan. Energi nuklir yang
diisiulang dalam reaktor listrik mampu mencapai 18 bulan nonstop.
Reaktor PLTN juga mampu melayani kebutuhan listrik industri lebih
20-40 tahun.

Apaboleh buat PLTN belum sepenuhnya diterima masyarakat. Di pelbagai
negara ditemui kenyataan serupa. Semua kecemasan seharusnya dijadikan
catatan penting bagi kita dalam mendorong pembangunan PLTN agar
memberikan nilai tambah bagi pembangunan ekonomi di satu pihak dan
kesejahteraan penduduk di lain pihak. Inilah salah satu tanggung jawab
kritis para akademisi tanpa keberpihakan. (JURNAL NASIONAL, 29 Maret
2008/ foto : humasristek)

sumber: http://ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=2590