Wednesday, May 14, 2008

Mengapa Kita Harus Pro-PLTN?

Oleh: Carunia Mulya Firdausy
Deputi Menegristek Bidang Dinamika Masyarakat

Hingar bingar untuk menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) kembali muncul ke permukaan. Inisiatif tersebut kali ini
dilakukan oleh dua puluh delapan orang yang menamakan dirinya sebagai
kelompok akademisi dari berbagai disiplin ilmu dan didukung oleh
sekitar 200 peserta yang hadir di Sekolah Tinggi Filsafat (STF)
Driyarkara, Jakarta. Mereka mendesak pemerintah untuk membatalkan PLTN
dengan empat alasan klasik, yaitu risiko terlalu tinggi, tidak ada
urgensinya, masih banyak sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan, dan ada penolakan dari masyarakat Indonesia. Bahkan yang
lebih provokatif lagi dinyatakan bahwa Konferensi PBB tentang
perubahan iklim yang berlangsung pada Desember di Bali lalu tidak
menetapkan nuklir sebagai energi alternatif untuk mengurangi emisi C02
dan dipandang sebagai sikap beberapa pihak untuk mengegolkan PLTN sama
halnya dengan sikap Amerika untuk ngotot menolak isu nuklir di Iran.

Tentu kalau di media ini mereka diizinkan untuk memublikasikan
pandangannya di atas, maka pandangan masyarakat yang berpikir pro-PLTN
harus pula diberikan tempat di media ini. Dasarnya karena argumentasi
untuk menolak PLTN yang disampaikan di atas cenderung misterius dan
provokatif, jika tidak hendak dikatakan nonempiris. Mengapa?

Argumentasinya

Argumentasinya sebagai berikut. Pertama, PLTN telah mendunia pada saat
ini. Jumlah negara yang telah menggunakan PLTN sebagai energi listrik
terus bertambah lebih dari 30 negara. Kini jumlah PLTN telah mencapai
442 buah dan tidak hanya terbatas pada negara maju saja, melainkan
juga telah dan akan menjadi sumber energi pembangkit listrik utama di
negara Asia (Jepang, Korea Selatan, India, China, Vietnam, dan
Thailand). Khusus untuk Jepang dan Korea Selatan, PLTN telah
berkontribusi masing-masing sebesar lebih dari 30 persen dan 40 persen
dalam pasokan listriknya. Demikian pula dengan India dan China.
Sedangkan Vietnam segera akan menyusul. Mungkin itu sebabnya di negara-
negara tersebut, byar pet listrik nyaris tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, mengapa kita terus saja mengatakan PLTN berisiko terlalu
tinggi di Indonesia, jika di negara sekelas India, China dan Vietnam,
PLTN mendapat tempat yang layak?

Kedua, berbagai literatur yang menjelaskan bahwa nuklir sebagai energi
bersih dan efisien juga telah banyak dipublikasikan. Stern (2007),
OECD (2007), dan Moore (2007), misalnya, berdasarkan hitungan empiris
mendapatkan nuklir sebagai energi bersih dan efisien. Dalam side-event
konferensi PBB tentang Perubahan Iklim yang berlangsung di Bali pada
Desember 2007 lalu, isu dan masalah PLTN juga dibahas, sehingga tidak
benar konferensi tersebut tidak memasukkan nuklir sebagai energi
alternatif yang mampu mengurangi emisi C02.

Demikian pula, fakta telah membuktikan bahwa penggunaan nuklir dalam
pembangkit listrik relatif lebih murah dibandingkan dengan penggunaan
sumber energi nonnuklir (Stern, 2007). Yang mahal dengan pembangunan
PLTN yakni biaya awal (capital costs) pembangunannya. Hal ini karena
dalam pembangunan satu unit PLTN diperhitungkan pula biaya
commissioning, decommissioning dan manajemen limbah. Selain itu,
karena teknologi yang harus dipakai harus aman dari segala bencana
alam sehingga biayanya menjadi relatif mahal. Pembangunan satu reaktor
pun memerlukan waktu yang relatif panjang sekitar 5-8 tahun.

Sedia Payung

Pernyataan bahwa PLTN tidak ada urgensinya harus dielaborasi lebih
lanjut dasar empirik hitungannya. Jika hitungannya berdasarkan kondisi
ekonomi nasional kekinian, memang PLTN belum atau tidak urgen.
Sebaliknya, jika hitungannya berdasarkan kebutuhan ekonomi jangka
menengah dan panjang, mengapa harus memaksa menyatakan bahwa PLTN
tidak urgen. Apalagi, berbagai ketidaktentuan ekonomi dalam penyediaan
sumber energi saat ini dan mendatang tengah berlangsung. Belum lagi
jika kita menyoal tentang dampak lingkungannya yang mengerikan jika
kita bergantung hanya pada energi fosil (batu bara, minyak bumi, dan
gas alam). Mestinya upaya untuk “sedia payung sebelum hujan” dalam
bidang energi yang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Presiden No
5/2006 dan Undang-Undang Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) No
17/2007 patut dihargai.

Ketiga, benar bahwa kita punya banyak sumber energi alternatif ramah
lingkungan di luar nuklir. Tak terbatas pada energi bayu, panas bumi,
air laut, biofuel, biomass, dan matahari. Sampah pun terbukti dapat
digunakan sebagai energi pembangkit listrik. Harus diakui selain
teknologinya mahal, penting dicatat energi nuklir terbatas untuk
memasok listrik dalam skala besar. Selain itu, pengisian energi
tersebut dalam suatu reaktor pembangkit listrik harus dilakukan
berulang-ulang dalam hitungan hari maupun bulan. Energi nuklir yang
diisiulang dalam reaktor listrik mampu mencapai 18 bulan nonstop.
Reaktor PLTN juga mampu melayani kebutuhan listrik industri lebih
20-40 tahun.

Apaboleh buat PLTN belum sepenuhnya diterima masyarakat. Di pelbagai
negara ditemui kenyataan serupa. Semua kecemasan seharusnya dijadikan
catatan penting bagi kita dalam mendorong pembangunan PLTN agar
memberikan nilai tambah bagi pembangunan ekonomi di satu pihak dan
kesejahteraan penduduk di lain pihak. Inilah salah satu tanggung jawab
kritis para akademisi tanpa keberpihakan. (JURNAL NASIONAL, 29 Maret
2008/ foto : humasristek)

sumber: http://ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=2590

No comments: