Wednesday, May 14, 2008

22 Tahun Tragedi Chernobyl

22 Tahun Tragedi Chernobyl.
Indo Pos, Minggu, 20 April 2008.
Oleh : Goei Tiong Ann Jr, Rohaniawan dan Aktivis Lingkungan.

Seandainya pada 25 April 1986 malam -22 tahun silam- Anatoli Djatlow,
insinyur kepala di reaktor nuklir Chernobyl (Tschernobyl) , tidak
memutuskan untuk segera memulai percobaan yang tertunda, dunia tidak
akan pernah memperingati tragedi nuklir yang konon terbesar di sepanjang
sejarah manusia itu. Tapi, eksperimen dilanjutkan dan menjelang 26
April 1986, terjadi lonjakan suhu yang begitu drastis di dalam reaktor.
Tepat pukul 23:58, sebuah ledakan besar menghancurkan reaktor di blok
keempat pembangkit listrik Chernobyl.

Pagi hari 26 April, 200 ribu manusia dievakuasi dari sekitar reaktor
Chernobyl. Sekitar 600 desa di sekitar Chernobyl dikosongkan. Menurut
standar INES (The International Nuclear Event Scale), tragedi
Chernobyl masuk level ke-7 (level paling atas) yang disebut major accident.
Korban Chernobyl yang meninggal tidak sampai 90 ribu jiwa sebagaimana
dirilis berbagai media. Yang benar, korbannya sekitar 60, dan itu pun tidak
seketika, namun sejak 1986 hingga sekarang. Jumlah korban meninggal
seketika hanya dua jiwa. Namun, dampak radioaktif dan berbagai
penyakit yang ditimbulkan masih berlangsung. Kini sebagian pengungsi Chernobyl
telah kembali ke kampung halaman. Namun, jelas keadaan tidak seperti dulu.

Banyak orang depresi oleh masalah keuangan, fasilitas umum yang buruk, dan merosotnya kualitas hidup. Implikasinya bagi Kita Blow up media soal tragedi Chernobyl memiliki implikasi luas, termasuk di Indonesia. Disadari atau tidak, bangsa kita seperti mengidap “fobia nuklir”. Fobia kian menjadi manakala mengingat tragedi Hirosima dan Nagasaki pada 1945, ditambah ledakan di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di Serpong 10 September 2007 (Jawa Pos 11/11/ 2007).

Tentu saja fobia bukan kondisi yang wajar atau normal. Fobia menunjukkan ada yang tidak sehat. Akibatnya, setiap ada rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), reaksi publik antinuklir pun tidak proporsional lagi, seperti terlihat dari rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria, Jepara. Yang memprihatinkan, akhirnya banyak kalangan yang tidak tahu-menahu tentang nuklir dan kerja PLTN -singkatnya orang yang tidak memiliki kompetensi atau kapabilitas dalam hal nuklir- buru-buru mendesak PLTN jangan pernah dibangun di Indonesia. Apalagi jika menyimak sejarah nuklir, fobia kian menjadi-jadi karena nuklir sering dikaitkan dengan senjata.

Seperti diketahui, ledakan bom nuklir pertama di dunia berlangsung pada 16 Juli 1945 di Gurun Jemez, New Mexiko, AS, berkat kerja Robert Oppenheimer dkk. Ujung semua itu, nuklir dicap buruk dan layak dikutuk. Sisi positif nuklir tidak terlihat ketika prasangka dan ketidaktahuan lebih sering ditonjolkan. Jadi, pendekatan terhadap nuklir di tanah air masih kental dengan nuansa prasangka atau fobia sehingga objektivitas melemah. Pendekatan yang berimbang pun tak tercapai.

Sebenarnya pro dan kontra nuklir adalah hal yang lumrah dan tulisan ini tidak mau terjebak dalam salah satu kubu. Hanya menghabiskan energi. Saya lebih berkepentingan menunjukkan bahwa nuklir memiliki sisi positif dan bisa bermanfaat bagi dunia yang tengah dilanda krisis energi global. Sisi positif nuklir bisa dilihat dari kian berkembangnya riset yang lebih difokuskan pada penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan sipil, seperti penghasilan energi listrik dan panas. Banyak negara lain sudah mencoba, mengapa kita tidak?

Dari tempat saya menulis artikel ini di Roma, saya sehari-hari juga memanfaatkan listrik dari PLTN yang diimpor Italia dari Prancis. Orang awam boleh jadi sudah takut listrik dari PLTN otomatis akan gampang terpapar radioaktif. Padahal, kebocoran radio aktif hanya bisa terjadi
di sekitar reaktor. Jadi, aman-aman saja listrik dari PLTN. Saya hanya mau menggarisbawahi bahwa di banyak negara Eropa, energi nuklir sudah dimanfaatkan untuk kepentingan sehari-hari dan kita tidak perlu panik memanfaatkannya. Memang ada yang antinuklir, tetapi ketika tahu manfaatnya, jumlah yang anti kian menyusut. Apalagi, di tengah santernya isu global warming, PLTN juga punya kelebihan tersendiri dibanding energi konvensional lainnya. Harap diketahui, selama beroperasi, PLTN tidak mengemisikan gas rumah kaca CO2. Bandingkan
dengan energi fosil (seperti minyak tanah) yang menghasilkan banyak karbon. Belum
lagi, harga per barel minyak sudah menyentuh level USD 119 (per 23 April 2008).

PLTN memang bisa dijadikan sumber listrik alternatif mengingat sumber energi konvensional seperti minyak, batu bara, dan gas makin menipis. Bahkan, pemerintah sudah mencabut subsidi listrik untuk pelanggan golongan 6.600 VA dan 2.200 VA (Jawa Pos, 23 April 2008). Harga listrik dari PLTN juga lebih murah.

Semua Punya Risiko

Sebenarnya, terkait risiko, setiap hal selalu ada risikonya. Listrik
yang konvensional seperti kita kenal juga sudah memakan korban, yakni
mereka yang mati kesetrum. Demikian juga PLTN, tentu ada risiko yang harus
diambil. Tidak menyetujui nuklir pun berisiko, misalnya, kita akan
dilanda terus krisis energi seperti yang dialami warga kita di Kalimantan dan
Sumatera. Karena itu, seharusnya rencana pembangunan PLTN yang telah
ditetapkan melalui Perpres No 5/2006 perlu direspons dengan bijak dan
tidak emosional. Apalagi negeri kita memiliki kandungan uranium yang
membuat ngiler negara-negara yang sudah mengembangkan PLTN seperti
AS, Prancis, dan RRT. (***)

No comments: