Sunday, April 11, 2010

Persepsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap PLTN (1997)

Persepsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap PLTN

"Hingga kini, energi nuklir tetap pilihan terakhir. Apalagi dengan ditemukannya beberapa sumber gas alam di Natuna, Irian Jaya, Kalimantan dan lain-lain. Penggunaan energi nuklir di Indonesia bahkan akan mundur dari tahun 2003 menjadi beberapa puluh tahun kemudian, bisa tahun 2020, bisa tahun 2030, tergantung analisis yang akan dilakukan terhadap skenario kebijakan energi nasional jangka panjang," kata Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie pada pembukaan Konferensi Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Jakarta, 11 Maret 1997.
Di lain pihak, kapanpun PLTN (bila jadi) dibangun, memberikan pengetahuan iptek nuklir kepada masyarakat secara obyektif perlu dilakukan, seperti saran H.A. Amiruddin, Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia pada Lokakarya Energi Nasional 16-18 Oktober 1996. Berikut kutipan makalah H.A. Aminuddin secara lengkap.

Pendahuluan

Ada dua cara untuk menghasilkan listrik secara ekonomis dalam skala besar. Pertama menggunakan tenaga air dan kedua menggunakan tenaga panas. Tenaga air memanfaatkan energi grafitasi air terjun, sedangkan tenaga panas memanfaatkan energi yang terdapat pada uap bertekanan tinggi. Kedua-duanya untuk memutar turbin dan generator listrik. Murahnya pusat listrik tenaga air (PLTA) karena ia tidak memerlukan bahan bakar. Bahan bakar PLTA disuplai secara tidak langsung dari energi surya melalui siklus hidrologik. Jadi PLTA satu-satunya pemanfaatan energi surya sebagai pembangkit listrik yang layak secara ekonomi. Uap bertekanan tinggi pada pusat listrik tenaga uap dapat diperoleh dengan cara membakar batubara, minyak, gas kayu dan bahan-bahan lain yang dapat terbakar untuk memanaskan air. Pemanasan air ini juga dapat ditempuh dengan memanfaatkan energi yang dikeluarkan melalui proses pembelahan inti atom uranium (proses fissi inti). Pusat listrik yang terakhir ini dikenal dengan nama Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Dalam sudut pandang kebutuhan energi di masa sekarang dan akan datang, sebagian besar masyarakat sepakat bahwa Indonesia harus meningkatkan suplai energinya, terutama energi listrik yang peningkatan kebutuhannya untuk kini saja gagal diantisipasi oleh PLN. Selain listrik merupakan salah satu komponen dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB), ia mempunyai peranan lain yaitu sebagai pendorong perekonomian, sehingga ada suatu korelasi antara konsumsi energi listrik dan keadaan perekonomian suatu masyarakat. Namun demikian, dari beberapa sumber energi yang ada perlu ditentukan beberapa alternatif pilihan. Alternatif-alternatif tersebut sudah sering ditawarkan oleh pemerintah dan telah banyak dibahas, dikaji dan dikomentari oleh para pakar energi, pakar listrik maupun masyarakat umum.
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana presepsi dan penerimaan masyarakat bila PLTN dipilih sebagai salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik di masa mendatang. Dilihat secara garis besar pasang surut perkembangan pandangan masyarakat dunia tentang PLTN sejak berakhirnya perang dunia II hingga sekarang, kemudian hanya secara garis besar, karena harus diakui bahwa hingga kini belum ada studi yang mendalam dan objektif dalam rangka mengukur presepsi atau penerimaan masyarakat terhadap kehadiran PLTN di Indonesia, akan dibahas berbagai pandangan yang berkembang di masyarakat tentang perlu tidaknya PLTN di Indonesia yang akhir-akhir semakin marak.

Pandangan Masyarakat Terhadap PLTN

Pada awalnya, ada kegairahan pasca perang terhadap segala sesuatu yang bersifat ilmiah yang telah dicakup oleh iptek nuklir, yang menimbulkan optimisme di kalangan media bahwa mobil dan listrik tenaga atom akan membuatnya "terlalu murah untuk diukur". Media memaklumkan bahwa "abad atom telah mulai". Tiga puluh tahun kemudian, pada pertengahan tahun 70-an mulai muncul suatu reaksi karena impian tentang tentang segalanya bertenaga nuklir ternyata tidak realistis. Pada kondisi ini, suara kritis dari gerakan anti nuklir mulai mendapat liputan lebih besar dari media.
Pembalikan opini masyarakat besar-besaran terjadi setelah kecelakaan reaktor nuklir Three Mile Island (TMI) di Amerika Serikat pada tahun 1979. Kecelakaan ini konon disebabkan oleh kombinasi antara kegagalan salah satu bagian peralatan dan kesalahan operator yang akhirnya menyebabkan melelehnya sebagian dari bahan bakar di teras reaktor karena kehilangan air pendingin. Namun demikian pada kecelakaan itu struktur pembungkus reaktor berperilaku sebagaimana yang dirancang sehingga sangat sedikit zat radioaktif yang terlepas keluar bangunan reaktor. Sementara itu efek jangka panjang terhadap kesehatan diperkirakan kurang dari satu kematian statistik pada populasi yang berjumlah lima juta orang.
Media memperlakukan TMI sebagai bencana besar dan bukan sekedar kecelakaan suatu industri mahal. Perlakuan ini sedikit banyak dibantu oleh pejabat hubungan masyarakat industri nuklir yang bertindak tidak pada tempatnya dan klaim yang berlebihan dari gerakan anti nuklir. Dengan terjadinya kecelakaan ini menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tenaga nuklir sebagai pembangkit listrik yang aman. Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya kecelakaan reaktor Chernobyl pada bulan April 1996. Kecelakaan ini menelan korban 31 orang meninggal, 200 orang luka-luka dan sekitar 135 ribu orang pada zone 30 km di sekeliling reaktor dievakuasi, dan sebagian hingga kini belum diperkenankan kembali. Kontaminasi radioaktif tingkat rendah terbawa angin ke daerah yang lebih luas di Uni Sovyet dan Eropa.
Gerakan anti-nuklir di dunia muncul sejak tahun 1950-an ketika Uni Sovyet meledakkan senjata nuklirnya yang pertama pada tahun 1949 yang disusul oleh Inggris pada tahun 1952. Motivasi awal gerakan ini adalah menentang penggunaan nuklir oleh pemerintah mereka untuk senjata pemusnah. Gerakan yang juga menyokong gerakan kampanye anti-nuklir adalah apa yang bila sebutannya diperhalus disebut gerakan kaum "environmentalis". Kata ini perlu diberi tanda petik karena sebenarnya sekarang ini setiap orang dapat disebut sebagai kaum environmentalis. Tidak ada seorangpun yang tidak suka mandi di air yang bersih atau bernafas di udara yang bersih. Sasaran utama dari gerakan ini pada awalnya adalah menentang meningkatnya kontaminasi dan polusi lingkungan dan industri. Mereka mempunyai kecocokan dengan gerakan anti-nuklir karena salah satu polutan di alam ini adalah radiasi nuklir.

Persepsi Penerimaan Masyarakat Indonesia

Introduksi PLTN di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968 melalui seminar Cipayung atas prakarsa Dirjen Tenaga Listrik, Departemen PUTL bekerjasama dengan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Seminar berikutnya diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 19-24 Januari 1970 yang melahirkan usulan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2-PLTN). Sejak saat itu, teknologi PLTN mulai mendapat perhatian serius oleh para ahli nuklir di Indonesia. Persiapan lebih serius dimulai setelah Presiden pada tanggal 11 Desember 1989, meresmikan labolatoria BATAN, LIPI dan BPPT dikawasan Puspitek Serpong, menginstruksikan agar dilakukan usaha persiapan sebaik-baiknya untuk membangun suatu PLTN di Indonesia. Instruksi tersebut dipertegas pada saat peresmian pemakaian beberapa instalasi nuklir yang terletak dikawasan yang sama pada tanggal 12 Desember 1990. Instruksi Presiden ini memberikan dorongan dan pegangan yang kuat bagi para pekerja di bidang penyediaan energi listrik yang selama ini masih merasa ragu untuk merencanakan program energi nuklir di Indonesia. Keraguan ini jelas beralasan karena gencarnya kampanye sekelompok orang yang kurang menyukai pembangkit energi listrik tenaga nuklir. Bagi sebagian anggota masyarakat, kata-kata nuklir mengandung rasa ngeri. Hal ini mudah dipahami karena pertama kali terjadi pemboman nuklir atas Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Usaha persiapan pembangunan PLTN tersebut dijabarkan secara lebih kongkrit dengan keputusan BAKOREN yang menunjuk Batan untuk memulai kegiatan yang terarah menuju pembangunan PLTN. Untuk itu BATAN melakukan pemutakhiran studi kelayakan Pembangunan PLTN yang dimulai sejak akhir tahun 1991 dan berakhir pada pertengahan tahun 1996 ini.
Seiring dengan rencana pemerintah membangun PLTN tersebut, di dalam masyarakat berkembang tanggapan-tanggapan yang bernada setuju dan tidak setuju atau paling tidak bertanya-tanya mengenai rencana tersebut. Akhir-akhir ini sikap setuju dan tidak setuju makin marak berkenaan dengan hampir selesainya studi kelayakan, yang kemudian secara kebetulan disusul dengan adanya RUU Tenaga Nuklir yang diusulkan pemerintah ke DPR. Yang perlu mendapat perhatian dari hasil studi tersebut adalah bahwa dari pihak yang tidak setuju sebagian besar tinjauan yang ditampilkan adalah dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan sedikit porsi tinjauan teknis, sedangakan dari pihak yang setuju sebagaian besar tinjauan dari sisi teknis dan implementasi pembangunannya semata dan dianggap kurang mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan sosial, kultural, ekonomi dan politis. Menarik pula dipaparkan kembali di sini menurut studi tersebut, lantunan yang sifatnya netral dan informatif sebagaian besar merupakan tinjauan dari segi teknis dan implementasi, sedangkan lantunan yang sifatnya setuju umumnya merupakan propaganda (impelentasi, krisis energi, dan pemasyarakatan). Meskipun validitas studi tersebut masih dapat dipertanyakan, namun paling tidak dapat memberikan gambaran kasar bahwa selama ini ada kesenjangan informasi yang perlu dipertemukan antara yang dilantunkan oleh pihak yang setuju dan tidak setuju. Sedikitnya porsi teknis yang dilantunkan oleh pihak yang tidak setuju adalah wajar karena latar belakang pengetahuan mereka tentang PLTN sebenarnya sangat minim. Oleh karena itu merupakan tantangan bagi pihak yang setuju untuk menyajikan yang benar dan objektif ditinjau dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi dan lingkungan dengan porsi yang lebih besar sehingga dapat mengimbangi lantunan teknisnya.
Secara garis besar, masyarakat yang kurang senang akan kehadiran PLTN dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, pertama adalah kelompok masyarakat awam, bagi mereka nuklir menimbulkan rasa takut, karena kurang paham terhadap sifat-sifat atau karakter nuklir itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa budayawan, politikus, tokoh keagamaan dan beberapa anggota masyarakat umum lainnya. Ke dua adalah masyarakat yang sedikit pahamnya tentang nuklir. Mereka menyangsikan kemampuan orang Indonesia dalam megoperasikan PLTN dengan aman, termasuk pengambilan limbah radioaktif yang timbul dari pengoperasian PLTN itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa LSM dan kalangan akademis. Ke tiga adalah kelompok masyarakat yang cukup paham tentang nuklir tetapi mereka menolak kehadiran PLTN. Karena mereka melihat PLTN dari kacamata berbeda sehingga keluar argumen-argumen yang berbeda pula. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang pernah berhubungan dengan masalah keenergian, kelistrikan dan penukliran.

Beberapa Usaha Pemasyarakatan PLTN

Secara umum dapat disarankan memberikan pengetahuan iptek nuklir secara obyektif kepada masyarakat yang belum terkena pengaruh gerakan anti-nuklir adalah cara termudah untuk menghambat kampanye anti-nuklir. Untuk membendung pengaruh tersebut, berikut ini disajikan beberapa di antara banyak langkah yang mungkin dapat ditempuh antara lain :
  • Meluruskan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan
  • Aktivitas anti-nuklir pada umumnya akan megeluarkan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya keliru namun diucapkan secara berulang-ulang. Informasi y ang keliru ini bila tidak dikoreksi akan menjadi kontraversi dalam masyarakat. Sebagai "PLTN dapat meledak seperti bom atom ". Pada kenyataannya tidak mungkin suatu reaktor nuklir dapat meledak seperti bom atom. Hukum fisika tidak memungkinkan itu terjadi. Namun ketidakbenaran ini bila diucapkan berulang-ulang lambat atau cepat semakin banyak orang menerimannya. Contoh yang lebih aktual adalah khabar "akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap penduduk di sekitar calon tapak PLTN". Padahal kenyataannya PLTN merupakan suatu industri energi yang relatif tidak memakan tempat dibandingkan industri energi lain.
  • Memberikan perbandingan resiko antara PLTN dengan aktivitas lain
  • Gerakan anti nuklir biasanya dilatarbelakangi oleh adanya ketakutan terhadap kecelakaan nuklir. Sekecil apapun kecelakaan tersebut pasti akan dijadikan alat untuk kampanye anti nuklir. Pada umumnya aktivis anti-nuklir menolak untuk membuat perbandingan antara resiko PLTN dengan resiko kegiatan manusia sehari-hari yang lain. Padahal di dunia ini tidak ada kegiatan manusia yang bebas resiko, apakah itu mengendarai mobil, menumpang pesawat, membangun dan mengoperasikan pabrik kimia dan termasuk pula mengoperasikan PLTN. Semua kegiatan mengandung resiko, meskipun beberapa kegiatan memiliki resiko yang sangat kecil. Dalam hal pembangkit energi, secara teknis tidak ada pembangkit energi yang mempunyai faktor resiko lebih kecil daripada PLTN.
  • Mengganti emosi dengan akal sehat
  • Masyarakat anti nuklir amat mahir membangun kecemasan masyarakat terhadap kanker akibat radiasi, demikian pula efek genetik akibat radiasi yang sifatnya stokastik sering dilebih-lebihkan sehingga menimbulkan kecemasan yang berlebihan terutama terhadap wanita. Dengan demikian penjelasan yang abyektif terhadap masalah tersebut dari pihak yang berkompeten (misal dari dokter ahli di bidang tersebut) sangat diperlukan.
  • Menguasai media sepenuhnya
  • Media memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk opini masyarakat. Memang harus diakui bahwa karena minimnya pengetahuan para wartawan tentang nuklir, media mengalami kesulitan dalam memberikan cerita yang sebenarnya. Para wartawan sering tidak cukup memiliki pengetahuan tentang suatu topik agar mampu membedakan cerita nuklir yang benar dan sekedar isapan jempol. Akibatnya meskipun jika ceritannya menguntungkan industri nuklir, namun karena desakan keseimbangan berita, media juga harus mengakomodasikan suara-suara dari sudut pandang anti-nuklir. Disinilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh gerakan anti nuklir, karena dengan model pemberitaan seperti ini orang awam menjadi bingung siapa yang benar dan siapa yang salah.
  • Bekerja secara hati-hati dan cermat sehingga hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat benar-benar tidak terbukti.

Secara obyektif, PLTN merupakan suatu industri energi yang relatif paling aman dibandingkan dengan industri energi yang lain. Namun oleh kalangan masyarakat anti-nuklir PLTN dianggap sebagai industri energi yang paling berbahaya. Sikap hati-hati tersebut misalnya dengan tidak berlaku gegabah dengan menggangap bahwa seluruh PLTN itu aman sebagimana 426 Unit PLTN yang sekarang beroperasi di dunia. Jadi setiap PLTN yang akan dibangun harus selalu diteliti dan diawasi kendalanya mulai dari sejak tahap persiapan, pengembangan dan pengoperasian.

10 Alasan kenapa PLTN dibutuhkan di Amerika Serikat

10 Alasan kenapa PLTN dibutuhkan di Amerika Serikat
Menurut NEI (pada 2006) TopTen Alasan Penting Mengapa PLTN Vital bagi Kebijakan Energi AS adalah :

Energi nuklir membantu diversifikasi peran energi di AS.

Diversifikasi   energi  telah  sejak  lama  merupakan  suatu  kekuatan  sistem  perlistrikan AS. Bahkan ketika permintaan listrik meningkat, produksi listrik yang ditingkatkan dari 103 unit PLTN di AS (sekarang 104 unit) telah mempertahankan peran energi nuklir dalam produksi  listrik nasional AS tetap berada dalam angka sekitar 20% untuk selama 15 tahun yang lalu. Perluasan energi nuklir sedang membantu mencegah gangguan harga dan    pasokan yang berkaitan dengan beberapa sumber bahan bakar  yang memiliki dampak yang lebih merusakkan pada ekonomi dan konsumen.

Tenaga nuklir adalah sumber listrik yang efisien dan berkemampuan.

PLTN di AS beroperasi dengan tingkat keselamatan yang utama dalam industri listrik. PLTN menghasilkan 782 milyar kWh listrik pada tahun 2005 – pada tingkat tertinggi kedua yang pernah dicapai dan hanya sedikit kurang dari catatan rekor tertinggi sebesar 789 milyar kWh pada 2004. Efisiensi industri dari 103 unit PLTN yang  menghasilkan  tenaga  sekitar  90% selama waktu 24 jam per hari dalam 7 hari per minggu (24/7) - adalah yang tertinggi diantara semua sumber-sumber tenaga. Energi nuklir juga memiliki ongkos produksi terendah diluar pembangki listrik tenaga air – kira-kira US$. 1,7 sen per kWh.

Tenaga nuklir aman dan dapat diandalkan.

PLTN di AS mempunyai pengalaman operasi gabungan 3.100 reaktor-tahun, dan Angkatan Laut (Nuklir) AS memiliki pengalaman operasi gabungan 5.500 reaktor tahun. Disamping bukti unjuk kerja keselamatannya selama ini, PLTN adalah efisien, khususnya jika dibandingkan sumber listrik berbahan bakar lain. Sebagai contoh, dibandingkan dengan gas alam, ongkos  uranium relatif rendah dan kurang sensitif terhadap  peningkatan harga bahan bakar.
Satu pelet uranium – seukuran ujung sebuah jari kelingking – menghasilkan listrik ekivalen dengan listrik yang dihasilkan oleh 17.000 kaki kubik (ft3) gas alam, 1.780 lb (pound) batubara atau 149 galon minyak bumi.
Untuk menghasilkan 1 kWh listrik, diperlukan 1 pound (lb) batubara  menggunakan turbin uap (PLTU); 0,48 pound gas alam menggunakan turbin uap; 0,37 pound gas alam menggunakan teknologi daur gabungan; 0,58 pound minyak berat menggunakan turbin uap; dan 0,000008 pound uranium diperkaya 4% dalam PLTN komersial.

Tenaga nuklir tidak mengeluarkan gas efek rumah kaca.

Tenaga nuklir menghasilkan energi listrik dalam jumlah besar secara aman dan dapat diandalkan tanpa menghasilkan emisi yang berbahaya. Energi nuklir sejauh ini merupakan sumber listrik terbesar AS yang bebas emisi, memberikan 73% listrik dari sumber-sumber bebas emisi termasuk air, angin dan surya.
Pada tahun 2006, 103 unit PLTN di AS mencegah emisi 3,12 juta ton belerang dioksida; 0,99 juta ton nitrogen oksida; dan 681,2 metrik ton karbon dioksida ke atmosfer bumi. (PLTN nya sendiri memang tidak tetapi untuk pengkayaan uranium diperlukan energi nernahan bakar fosil)

Manfaat udara bersih menarik dukungan baru.

Pemimpin pecinta lingkungan terkenal seperti pendiri Greenpeace Patrick Moore, pendiri Whole Earth Catalog Stewart Brand dan pencipta Gaia Theory James Lovelock telah menyampaikan dukungan mereka pada tenaga nuklir. Isu seperti keprihatinan tentang potensi pemanasan global telah menempatkan penekanan baru pada tenaga nuklir karena tidak menghasilkan gas efek rumah kaca.

Kemajuan pengembangan fasilitas pembuangan bahan bakar bekas.

Pada tahun 2002, Konggres dan Presiden menyetujui Yucca Mountain di Nevada, sebagai tapak yang cocok untuk pengembangan sebuah tempat pembuangan akhir pada lokasi geologis yang dalam untuk bahan bakar nuklir bekas. Departemen Energi (DOE) sedang melanjutkan pekerjaan untuk permohonan izin Yucca Mountain yang akan disampaikan ke badan pengatur nuklir AS, yaitu NRC untuk peninjauan ulang dan persetujuan.
Sekarang ini, bahan bakar nuklir bekas disimpan secara aman di tapak PLTN dan diproteksi dengan baik oleh suatu gabungan konstruksi yang kokoh, perlengkapan surveilen dan deteksi, dan dijaga oleh petugas keamanan paramiliter yang terlatih dan dipersenjatai. ( Sayang proyek Yucca Mountain yang telah memakan dana $US.10 milyar ini tidak akan  dibiayai lagi oleh Pemerintahan Barrack Obama dan izinnya dicabut oleh NRC, sementara akan dikaji untuk kemungkinan proses olah ulang di AS)

Pemimpin nasional mendukung pengembangan tenaga nuklir.
 

Konggres telah menyetujui dan Presiden menandatangani Energy Policy Act 2005, yang memasukkan insentif investasi terbatas untuk riset, pengembangan dan perluasan tenaga nuklir. Legislasi ini – dengan ketentuan lain yang mendukung konservasi, efisiensi energi, produksi baru dan investasi  yang segera diperlukan dalam infrastruktur energi kami – akan membantu kami mencapai tujuan ekonomis, keamanan dan lingkungan.

Masyarakat keuangan berpandangan postif terhadap tenaga nuklir.

Perusahaan keuangan terkemuka seperti Merril Lynch, Prudential Equity Group,  Fitch Ratings Global Group dan Moody’s Investor Services telah menunjukkan bahwa akan ada suatu kebangkitan kembali tenaga nuklir (PLTN) dan memandang hal itu sebagai suatu investasi untuk masa depan.

Ya, untuk tenaga nuklir/PLTN di sekitar kami.
 

Selama  tahun  lalu,  beberapa  negara  bagian dan daerah telah menyetujui resolusi, yang
mengemukakan paket insentif  dan  dukungan  pembangunan PLTN baru di dalam area mereka. Yang pertama dari jenis itu, survei nasional dari sekitar PLTN yang dilakukan oleh Bisconti Research Inc. dengan Quest Global Research Group menemukan bahwa 76% dari orang Amerika yang tinggal lebih dekat dari PLTN menginginkan melihat sebuah PLTN baru dibangun di dekatnya.

Tenaga nuklir adalah suatu teknologi yang dipercaya di luar negeri.

Lebih dari 30 negara mengandalkan tenaga nuklir sebagai sumber energi listrik yang aman dan dapat dipercaya. Sebagai contoh, di Perancis, peranan PLTN dalam pembangkitan listrik nasionalnya mencapai sekitar 80%. Pimpinan negara lain seperti Inggris, Jepang, Jerman, dan Rusia telah menyatakan dukungannya pada tenaga nuklir.

Sumber :  Top Ten Reasons Nuclear Power Is Vital To America’s Energy Policy;
                May 22, 2006;  Nuclear Energy Institute (NEI).

Thursday, March 18, 2010

BISNIS INDONESIA: Survei lokasi PLTN sangat mahal

BISNIS INDONESIA: Survei lokasi PLTN sangat mahal

Kamis, 18/03/2010 18:37:52 WIB Oleh: Rahmayulis Saleh

JAKARTA (Bisnis.com): Pengembangan pembangkit tenaga nuklir (nuclear power plant/NPP), komponen terbesarnya adalah biaya untuk menentukan survei lokasi yang cocok untuk mendirikan reaktor nuklirnya, misalnya untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

“Biaya untuk survai prapembangunan NPP ini bisa mencapai 100 kali lipat dari biaya pembangunan NPP itu sendiri,” kata Konno Takaaki, Direktur Japan Nuclear Technlogy Institute, di sela-sela Seminar Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia di kantor BPPT, Jakarta, hari ini.

Dia menyebutkan biaya besar terletak pada penentuan mencari lokasi yang pas untuk pendirian NPP tersebut. Hal itu meliputi kelayakan lokasi dan pemasangan perangkat sinyal gempa, sehingga dapat mengantisipasi besarnya goyangan gempa (percepatan gempa).

Komponen biaya lainnya, kata Konno yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar itu, adalah penyusunan regulasi yang sangat ketat mengenai pemilihan lokasi, keikut sertaan tender, dan juga penerimaan masyarakat atas pembangunan NPP.

Menurut dia, proses pra pembangunan membutuhkan waktu 2 tahun, sementara pembangunan NPP mencapai 3-4 tahun. “Investasi NPP berkapasitas 1.000MW-1.400 MW membutuhkan anggaran sekitar 300 miliar yen,” ungkapnya.

Dia menyebutkan sampai sekarang Jepang telah mengembangkan 57 NPP dengan teknologi yang mampu mendeteksi kegagalan, atau kelalaian manusia (failed-safe) sebuah reaktor, dan dilengkapi dengan software human ativity. Perangkat lunak tersebut berisi informasi mengenai budaya keselamatan, peringatan dini kecelakaan, prosedur evakuasi dan juga informasi kecelakaan nuklir di masa lalu.

Sementara itu Hudi Hastowo, Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), menuturkan Indonesia pernah merencanakan pembangunan NPP pada 2016. “Namun sampai sekarang masih menunggu political will dari pemerintah untuk mewujudkannya. Butuh waktu sekitar 8 tahun dari komitmen awal sampai realisasi pembangunan NPP," ujarnya.

Dia menghitung waktu delapan tahun tersebut, adalah 2 tahun untuk sosialisasi pra pembangunan NPP, dan 6 tahun lagi untuk pembangunan NPP. “Jadi kalau 2010 ini pemerintah sepakat untuk membangunnya, maka 2018 Indonesia akan mempunyai pembangkit listerik tenaga nuklir [PLTN] pertama,” ungkap Hudi.

Dia menambahkan Presiden sudah mengeluarkan Inpres No 1 tahun 2010, yang mengharuskan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Batan melakukan sosialisasi tentang PLTN kepada masyarakat.

Melalui Inpres tersebut, katanya, diharapkanh masyarakat bisa memahami dan menerima rencana pembangunan PLTN. “Namun, Inpres tersebut tidak diiringi dengan alokasi anggaran dalam Dipa Kemenristek yang rancangannya sudah terlanjur diajukan tahun lalu,” ujarnya. (ts)

sumber: http://web.bisnis.com/senggang/iptek/1id169039.html

ANTARA: Presiden Terbitkan Inpres Tentang Sosialisasi PLTN

ANTARA: Presiden Terbitkan Inpres Tentang Sosialisasi PLTN


Jakarta (ANTARA) - Presiden mengeluarkan Inpres No 1 tahun 2010 yang mengharuskan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) melakukan sosialisasi tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kepada masyarakat.

"Inpres ini mengharapkan masyarakat semakin bisa menerima rencana pembangunan PLTN," kata Kepala BATAN Dr Hudi Hastowo di sela Seminar "Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia", di Jakarta, Kamis.

Sayangnya, Inpres tersebut tidak dibarengi dengan alokasi anggaran dalam APBN KRT yang rancangannya sudah terlanjur diajukan tahun lalu.

Pihaknya, ujar dia, juga masih mengharapkan keluarnya peraturan lainnya yakni Perpres tentang organisasi yang akan mengelola PLTN. Dengan peraturan ini maka pembangunan PLTN sudah bisa dilakukan.

Rancangan Perpres ini sudah menunggu sekitar 2-3 tahun untuk ditandatangani Presiden.

Dengan dasar UU no 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), menurut Hudi, seluruh persiapan pembangunan PLTN sudah dilakukan, dari mulai riset tentang tapak PLTN, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusianya, kesiapan teknologinya, rancangan peraturan hingga pembiayaannya.

"Jepang sudah menawari bantuan pinjaman hingga dua miliar dolar AS," katanya.

Presiden RI masih mengkhawatirkan penerimaan masyarakat terhadap PLTN khususnya kemampuan SDM dan teknologi.

Hudi mengatakan, kebutuhan energi di Indonesia sangat tinggi, khususnya karena penggunaan energi di Indonesia saat ini masih sangat rendah yakni 500 kW per kapita, jauh dibandingkan negara tetangga misalnya Malaysia yang sebesar 3.000 kW per kapita.

"Tanpa energi tidak akan ada investasi, tak ada pertumbuhan ekonomi dan tak ada kemakmuran," katanya sambil menambahkan bahwa saat ini rakyat Indonesia masih merasa kaya akan minyak, gas dan batubara, tanpa peduli kemungkinan habisnya cadangan energi tersebut beberapa puluh tahun lagi.

Dalam UU RPJM, PLTN Semenanjung Muria seharusnya sudah ditenderkan pembangunannya sejak 2008 dan mulai dibangun pada 2010, sehingga sudah bisa beroperasi pada 2016 dengan kapasitas 2.000 MW.(D009/A024)

Monday, December 21, 2009

Swedia Kembali ke Energi Nuklir

Oleh Mukhlis Akhadi (sumber: Wb)

Menolak nuklir boleh-boleh saja, itu bagian dari demokrasi. Tapi alangkah baiknya kalau mereka yang menolak nuklir itu juga memberi alternatif sumber energi lain yang kompetitif untuk dimanfaatkan di Indonesia. Kalau saya baca siaran pers nya, di bagian akhir hanya memberi dukungan terhadap pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan dengan efisiensi tinggi, tanpa menyebut sumber energinya apa. Artinya para penolak nuklir itu sejatinya tidak memiliki konsep yang jelas tentang energi yang harus dikembangkan di Indonesia. Adakah jenis sumber energi baru dan terbarukan yang lebih spesifik yang harus dikembangkan di Indonesia yang nantinya dapat mengisi kekurangan suplai energi ?

Memberi dukungan terhadap litbang sumber energi baru dan terbarukan OK saja. Masalahnya, tentang litbang energi, para penolak nuklir juga tidak tahu persis sampai kapan litbang itu dapat menghasilkan temuan sumber energi baru yang benar-benar kompetitif untuk Indonesia. Litbang bisa berhasil, tapi juga bisa gagal alias tidak menemukan sumber energi baru apapun yang kompetitif untuk dikembangkan. Belum lagi masalah waktu untuk litbang itu sendiri, dan seandainya berhasil sekalipun, belum tentu temuan baru itu langsung dapat diaplikasikan, belum lagi dilihat dari aspek kompetitifnya.

Masalahnya, para penolak nuklir sepertinya tidak menyadari masalah energi yang saat ini dihadapi Indonesia dan dunia. Cadangan minyak bumi yang semakin menipis dan harganya terus melambung, batubara yang tidak ramah lingkungan dan mengancam penduduk bumi karena memicu pemanasan clobal, permintaan energi yang terus meningkat dari waktu ke waktu karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan laju industrialisasi di berbagai belahan dunia yang ikut meningkat, semuanya perlu keputusan cepat untuk memutuskan sumber energi apa yang harus dipakai untuk mengisi kesenjangan antara suplai dan permintaan terhadap energi tersebut.

Litbang pengembangan sumber energi baru -siapapun tahu- memang diperlukan. Namun apakan kita hanya mengandalkan pada litbang tersebut untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi seperti yang sedang dialami Indonesia saat ini. Tarohlah litbang perlu waktu 20 tahun untuk betul-betul menghasilkan sumber energi baru dan terbarukan yang betul-betul kompetitif (dan inipun tidak ada jaminan untuk berhasil), lantas apa yang akan dipakai untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi dalam kurun waktu tersebut ? Adakah jawaban yang realistis dari para penolak nuklir ?

Dalam kondisi krisis listrik seperti yang dialami Indonesia saat ini, terjadi pemadaman bergilir setiap saat, aktivitas industri terganggu karena kontinyuitas suplai listrik tidak dapat diandalkan, dengan dampak kerugian yang besar di fihak industri, belum lagi terhambatnya investasi karena infrastruktur energi yang tidak memadai, yang berakibat pada terhambatnya pembukaan lapangan kerja baru, sementara pengangguran di tanah air terus meningkat, semuanya itu sepertinya tidak pernah ada dalam fikiran para penolak nuklir. Artinya mereka hanya sekedar menolak penggunaan energi nuklir, tapi tidak memiliki solusi yang membumi yang bisa diwujudkan dalam waktu dekat untuk mengatasi semua permasalahan kelistrikan yang sedang dihadapi bangsa saat ini.

Jeleknya lagi, data-data pendukung yang digunakan untuk menolak nuklir adalah data-data usang, sangat bertentangan dengan data-data terbaru. Betul AS dan Eropa Barat pernah menunda program nuklir setelah infrastruktur energi di negara-negara itu cukup mantab, karena memang didukung oleh penggunaan energi nuklir yang cukup besar. Namun apa yang terjadi saat ini, disaat krisis energi membayang-bayangi penduduk bumi ? AS dan Eropa Barat kembali melirik nuklir. Bagi mereka, memutuskan kembali ke nuklir memang cukup mudah karena sebelumnya sudah cukup lama berpengalaman dalam penggunaan energi nuklir. Di saat nagara-negara maju memutuskan kembali ke nuklir, apa yang bisa dilakukan Indonesia ?

Mengenai hal tersebut, kita bisa melihat kasus yang terjadi di Swedia. Melalui referendum, rakyat Swedia pernah sepakat memutuskan untuk menutup semua PLTN yang beroperasi di negeri itu pada tahun 2010 karena adanya kecelakaan PLTN Three Mile Island, AS, tahun 1979. Referendum berikutnya malah menghendaki mempercepat penutupan semua PLTN di Swedia yang dimajukan ke tahun 2000 karena adanya kecelakaan PLTN Chernobyl tahun 1986. Satu prestasi pernah di catat oleh rakyat Swedia, yaitu menyetop penggunaan PLTA (PLTA, bukan PLTN) sejak tahun 1960 karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya ternyata demikian besar.

Namun apa yang terjadi saat ini di Swedia ? Setelah gagal mendapatkan sumber-sumber energi baru yang dapat menggantikan peran energi nuklir, sementara deadline penutupan PLTN semakin dekat, terpaksa pemerintah Swedia melakukan referendum ulang. Apa hasilnya ? Cukup mengejutkan, yaitu memperpanjang penggunaan energi nuklir sampai ditemukan sumber-sumber energi pengganti yang lebih aman. Namun ternyata tidak memberi batas waktu untuk penggunaan energi nuklir di negeri itu. Belum lama ini misalnya, PLTN Barsebach di Swedia ternyata malah diperpanjang penggunaannya. Artinya, sebagaimana sebelumnya saya sebutkan, rakyat Swedia berhasil melepaskan diri dari PLTA, tetapi ternyata gagal untuk membebaskan diri dari penggunaan energi nuklir.

Apakah para penolak nuklir di Indonesia belajar dari kasus ini ? Kasus serupa pun sebenarnya terjadi di negara-negara industri lainnya. Jerman yang sebelumnya dibangga-banggakan oleh para penolak nuklir karena keputusannya yang sangat berani untuk membebaskan diri dari energi nuklir, berita terkini menyebutkan, ternyata negara itu berbalik haluan untuk tetap mempertimbangkan nuklir sebagai pemasok listrik di masa mendatang. AS, Inggris, Italia sama saja. Sekali lagi, bagi negara-negara yang sebelumnya sudah memanfaatkan energi nuklir, keputusan untuk kembali ke nuklir memang cukup mudah karena pengalaman sudah ada. Namun apa yang bisa diperbuat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energinya di masa mendatang ? Dapatkan para penolak nuklir memberikan solusi yang realistis tanpa nuklir ?